| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Selasa, 05 April 2011

Catatan dari “Kisah” Roy Suryo: Lalat yang Tersesat dalam Botol

Oleh Dr. Wahyu Wibowo


Kisah “rebutan kursi” antara Roy Suryo dan penumpang Lion Air lainnya (26/3/11), setidaknya menambah keprihatinan saya bahwa kita memang “tak berdaya” dalam berbahasa.


TERNYATA masih banyak di antara kita yang beranggapan bahwa bahasa adalah sekadar alat berkomunikasi. Itu sebabnya, tidak jarang bahasa hanya direduksi sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.

Ketika petugas penerbangan meminta Roy Suryo meninggalkan pesawat, akibat salah naik, Suryo pun menggertak, “Bapak tahu siapa saya? Cek dong siapa saya!” (Yahoo! News, 30/3/11). Konon, petugas itu terkejut dan terdiam. Sikap terkejut dan terdiam seperti ini, menurut filsuf Wittgenstein (2003), membuktikan bahasa memang sebuah pesona tentang kecerdasan manusia, yang oleh karena itu “wajib” diperangi. Dengan memerangi pesona bahasa, yang notabene “memerangi” kecerdasan manusia penggunanya, suatu bahasa akan datang kepada kita dalam wujudnya yang komunikatif, kontekstual, dan wajar.

Menjadi wajar, berbahasa (dibaca: berkomunikasi) harus lekas-lekas dimaknai sebagai segala daya-upaya kita dalam memaknai realitas. Berbahasa, oleh karena itu, tidak lagi dapat dikaitkan secara serta-merta dengan masalah linguistik (yang memang kerap memesona itu), seperti yang masih diyakini orang hingga kini. Tanpa memahami hal ini, kita akan “tersesat” di hutan rimba kata-kata, sehingga dalam berkomunikasi kita kesulitan membedakan mana jenis komunikasi warung kopi dan mana jenis komunikasi masyarakat beradab.

Berpijak dari pendapat Wittgenstein, mereka yang sengaja mencampuradukkan antara komunikasi warung kopi dan komunikasi masyarakat beradab, apalagi dalam rangka mencapai tujuan politik, ibarat lalat yang tersesat dalam botol. Berputar-putar hanya di situ, seolah-olah sudah menemukan kebenaran.


Ideologi dan bahasa

POLITIK pasti berkelindan dengan kekuasaan. Penggalangan kekuasaan dan penegakan terhadap keyakinan politik selalu dilakukan dengan pelbagai cara, yang salah satu di antaranya dengan membujuk orang agar patuh.

Dengan membujuk orang lain agar sepakat dengan tujuan politiknya, seseorang atau sekelompok orang pasti membutuhkan ideologi, yakni keyakinan-keyakinan yang bagi penganutnya dirasakan logis dan wajar. Ideologi membutuhkan bahasa, sebab bahasa, sebagaimana dinyatakan Wittgenstein, harus tampil secara komunikatif, kontekstual, dan wajar. Itu sebabnya, mempertanyakan kewajaran ideologi di dalam suatu budaya, selain sulit juga membutuhkan aktivitas intelektual yang terstruktur dan terukur, yang sama sekali bukan sekadar obrolan di warung kopi.

Itu pula sebabnya, bahasa politik Roy Suryo dijadikan konsumsi media massa, sebab terkesan ia ingin mengubah ideologi sang petugas penerbangan. Kita paham benar, terdapat suatu pola budaya di dalam suatu institusi bisnis yang berpangkal dari suatu ideologi yang dianut oleh orang-orang di dalam institusi tersebut.

Tapi, mengapa Roy Suryo gagal? Terbukti, menurut berita, ia lantas menuruti perintah petugas untuk meninggalkan pesawat. Apalagi, penumpang lain di dalam pesawat juga turut “mengusir” Roy Suryo. Dalam hal ini, Wittgenstein pernah mengingatkan bahwa di dalam kehidupan ini banyak sekali tata permainan bahasa (language-games), yang mengindikasikan bahwa tiap-tiap tata permainan bahasa memiliki “lapangan bermain“-nya sendiri.

Artinya, suatu masyarakat memiliki tata permainan bahasanya sendiri, yang terkonteks dengan nilai-nilai kehidupan mereka, yang oleh karena itu membedakannya dengan tata permainan bahasa suatu masyarakat lainnya. Ketika Roy Suryo mencoba “memengaruhi“ petugas penerbangan dengan bahasa politiknya, ia terlena bahwa bahasanya itu tidak bisa lagi “dimainkan“ di lapangan lain, terutama karena “bahasa lama“ (zaman Orba ketika bahasa adalah fatwa) sudah berbeda dengan “bahasa baru“ (zaman Reformas ketika bahasa adalah kebebasan).

Hal di atas ini kiranya dapat dianalogikan dengan bahasa politik yang menghiasi kebijakan pemerintah. Ketika dinyatakan “pemerintah akan mematangkan desain pembangunan terminal peti kemas tambahan di Tanjung Priok“ (Kompas, 29/3/11; h.17), misalnya, jelas bahwa pemerintah ingin melogiskan dan mewajarkan kepada masyarakat bahwa desain itu memang belum pernah dimatangkan. Padahal, kelogisan dan kewajaran itu tentu memiliki konteks dan nilainya sendiri ketika dikaitkan dengan tata permainan bahasa masyarakat kebanyakan. Belum tentu semua orang setuju dengan kebijakan itu.

Bentrok antara satu tata permainan bahasa dan lainnya membuktikan betapa keras tarik-menarik kekuasaan di antara pihak-pihak yang sedang berkomunikasi. Hal ini, menurut Ricouer (2006) disebut filsafat kehendak, karena bertalian dengan adanya afeksi dan kehendak dalam eksistensi manusia. Artinya, pihak-pihak yang sedang berkomunikasi itu selalu membawa motif, kebutuhan, keinginan, dan kesenangan dalam rangka memenangkan wacana.

Yang jelas, janganlah seperti lalat yang terperangkap dalam botol.

Depok, April 2011

Tidak ada komentar: