| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Rabu, 25 Agustus 2010

MENCINTAI BAHASA INDONESIA DENGAN PENCERAHAN-BARU


Oleh Dr. Wahyu Wibowo


Ungkapan tentang berbahasa Indonesialah secara baik dan benar, memang sudah lama “menyihir” kita. Tapi, dengan itu, justru malah membuktikan bahwa kita ternyata kurang mengenal bahasa kita dengan baik dan benar, kecuali mencintainya secara membabi-buta. Artinya, kita memang butuh pencerahan-baru dalam mencintai bahasa Indonesia.

Pertama, bahasa Indonesia tidak membutuhkan undang-undang. Pasalnya, tiap bahasa dalam konteks pemakaiannya pada dasarnya memiliki aturan mainnya sendiri, mengingat nilai-nilai kehidupan yang dikandungnya. Hal ini kiranya beranalogi dengan pendapat Wittgenstein (1983), pencetus aliran Filsafat Bahasa Biasa, bahwa tiap bahasa dalam konteks pemakaiannya memiliki tata permainannya sendiri. Implikasinya, bahasa adalah pengungkap segala realitas yang lekat dengan hakikat kehendak bebas manusia yang melandasi nilai-nilai kreativitas, nilai-nila etik, dan nilai-nilai estetikanya. Tentu sulit membayangkan jika kreativitas warga negara dipagari oleh undang-undang kebahasaan. Sama sulitnya membayangkan negara turut campur dalam hal moral masyarakat, misalnya mengatur warganya dalam beribadah.

Kedua, bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah bukanlah bahasa Indonesia yang hidup di tengah masyarakat kita sehari-hari. Artinya, terjadi senjang antara teori yang dibenampaksakan ke dalam kurikulum dan sosok bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sebagai alat komunikasi, sudah barang tentu bahasa Indonesia selalu berubah-ubah sesuai dengan tata permainan, situasi, dan konteksnya. Mudah kita bayangkan, bukankah “bahasa skripsi”, “bahasa pidato kenegaraan”, dan “bahasa koran”, misalnya, adalah bentuk-bentuk bahasa Indonesia yang memiliki tata permainannya sendiri, yang dengan demikian tidak serta-merta dapat dipukulratakan di bawah ungkapan “marilah berbahasa Indonesia secara baik dan benar”. Oleh karena itu, amat wajar jika hingga kini banyak di antara kita yang masih menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sulit dipelajari dan belum memiliki daya keberaksaraannya.

Dari kedua hal di atas, dibutuhkan pemahaman kritis dalam memandang sosok bahasa Indonesia.

Hegemoni monolitisme

Bahasa Indonesia sejak era Orde Baru memang bernasib malang, karena selalu dijadikan objek monolitisme oleh Pemerintah, misalnya dengan sejumlah pembakuan yang diberlakukan pada seluruh tata permainan, situasi, dan konteksnya. Padahal, kita adalah bangsa yang multilingual, yang bersepakat menerima penggunaan tata permainan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, bahasa kesatuan, dan bahasa persatuan. Patut segera dikemukakan bahwa di balik ungkapan “bersepakat”, bahasa Indonesia digunakan sehari-hari oleh masyarakat bersama-sama dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya (Betawi, Jawa, Sunda, dan seterusnya). Selain hal itu, bahasa Indonesia juga digunakan bersama-sama dengan bahasa Belanda, Inggris, Arab, Mandarin, atau Jepang. Alhasil, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu rata-rata orang Indonesia. Implikasi dari hal ini, jangan pula buru-buru mengatakan bahwa kalau kita tidak menguasai bahasa Inggris, misalnya, lantas kita dikatakan ketinggalan zaman. Sebab, sekalipun kita mahir berbahasa Inggris, pada hakikatnya kita adalah tetap orang Indonesia yang tidak akan mungkin mampu hidup dan berpikir bak orang Inggris.

Kalau kita mau membuka mata, tindak monolitisme itu sejatinya adalah warisan semangat empiris-positivisme yang tumbuh pada abad ke-17 di Eropa, yang kemudian dikembangkan sejak awal abad ke-20 oleh para Saussurian di Prancis dan AS, yakni para pengikut tokoh linguistik modern Saussure. Kaum linguis strukturalisme-empiris pada umumnya menganggap bahwa bahasa dapat dilepaskan dari masyarakatnya atau bahasa tidak berkaitan dengan sejarahnya. Anggapan yang menurut saya agak sembrono ini, memang berdampak bagi masyarakat dalam memahami bahasa Indonesia. Dalam ungkapan lain, semangat strukturalisme-empiris yang begitu dahsyat merasuki kurikulum bahasa Indonesia menyebabkan siswa dan mahasiswa kita tercerabut dari konteks bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari. Padahal, sebagaimana dikatakan Wittgenstein, dalam hal berbahasa kita harus berprinsip “don’t think, but look. Artinya, jangan berpikir bagamaina bahasa seharusnya dibentuk, tetapi lihatlah bagaimana bahasa membentuk dirinya. Melalui prinsipnya ini, Wittgenstein dicatat sebagai filsuf Filsafat Bahasa pada abad ke-20 yang mampu menggetarkan lajunya perkembangan linguistik strukturalisme-empiris Prancis. Bahkan, menurut Sturrock (2004), misalnya, teori Sussure tentang asal-usul alamiah bahasa yang kemudian menjadi dasar linguistik modern itu ternyata kurang mendapat respons di negara-negara Anglo Saxon. Namun, akibat persebarannya ke AS (dan juga ke Indonesia) semangat strukturalisme-empiris Saussure kemudian “berkuasa” hingga dewasa ini. Padahal, kelahiran fenomenologi (Husserl), teori kritis (Habermas), postmodernisme (Lyotard, Derrida, dan Foucault), atau linguistik pragmatik (Ross dan Lakoff), amat kental disemangati oleh prinsip Wittgenstein.  

Tindak monolitisme yang mengimbas pada kurikulum bahasa Indonesia di sekolah agaknya dapat dibuktikan melalui contoh berikut ini. Di dalam Bahasa dan Sastra Indonesia untuk murid kelas 3 SD (Suwanto, 2004), ditegaskan bahwa untuk menulis murid harus mampu menentukan pokok pikiran dan memahami paragraf. Bayangkan, apa yang ada di benak murid kelas 3 SD mendengar ungkapan teoretik “pokok pikiran” dan “paragraf”. Tindak pemaksaan teori semacam ini, yang merupakan cerminan dari semangat strukturalisme-empiris, jelas-jelas membuat murid terpisah dari objek formalnya yakni bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari. Implikasinya, kita tentu dapat memahami mengapa kemampuan menulis di kalangan siswa dan mahasiswa kita hingga kini masih rendah. Menjadi wajar pula, jika hasil penelitian para ilmuwan Indonesia kurang terpublikasi secara luas.

Oleh karena itu, benarlah ucapan Wittgenstein bahwa bahasa (kata-kata dan kalimat) lebih merupakan alat yang dapat dipakai dengan banyak cara ketimbang sekadar mematut-matutkannya dengan teori linguistik. Alhasil, ungkapan berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar tidak lagi dapat dipahami sebagai “bahasa Indonesia baku” versus “bahasa Indonesia tidak baku”. Kenyataannya, bahasa Indonesia yang kita gunakan sehari-hari memiliki tata permainannya yang sesuai dengan situasi dan konteksnya, seperti tata permainan bahasa SMS (“gw mo ucapin met ultah neeh”), tata permainan bahasa lisan {“aku mau bilang met ultah ya”), tata permainan bahasa tulis (“saya hendak mengucapkan selamat ulang tahun kepada Anda”), dan seterusnya.

Habitus linguistik

Pada galibnya, bahasa terkungkung oleh “habitus linguistik” dan “pasar linguistik”. Istilah yang dilansir oleh Bourdieu (2004) ini hendak menggarisbawahi bahwa bahasa amat dipengaruhi oleh kecenderungan budaya masyarakatnya dalam mengungkapkan segala realitas. Namun, kecenderungan itu dipagari oleh sanksi dan sensor dari masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Dari hal ini, makin jelas bahwa bahasa Indonesia tidak patut dibuatkan undang-undang atau dijadikan objek monolitisme oleh Pemerintah.

Benarlah, terdapat pelbagai alasan kita mencintai bahasa Indonesia tanpa perlu mengedepankan sikap romantisme atau nasionalisme yang membabi-buta. Bahasa Indonesia pada hakikatnya tidak memiliki daya sihir, sebab secara alamiah sejak lahir ia sudah memiliki tata permainannya sendiri, yang hingga dewasa ini terbukti mampu menyatukan kita sebagai bangsa.



Tidak ada komentar: