| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Selasa, 01 Juni 2010

SBY DAN KOMUNIKASI POLITIK


Oleh: Dr. Wahyu Wibowo

Bagaimana mengukur keberhasilan SBY dan kabinet jilid duanya? Sejumlah pakar boleh berbalah tentangnya, misalnya dengan mengusung pendapat bahwa SBY dalam pemerintahan yang tinggal beberapa tahun mendatang hendaknya memperkuat ekonomi kerakyatan, perbaikan di bidang demokrasi, dan pemberantasan korupsi.  

Akan tetapi, andai hendak direnungi, kehidupan berbangsa dan bernegara kita sebenarnya selalu diwarnai oleh tiga bentuk “kejahatan”, yakni kekerasan, politik uang, dan korupsi. Ketiga bentuk ini tentunya amat lekat dengan praktik kekuasaan, sehingga sulit untuk tidak mengatakan bahwa ketiganya adalah simbol pertarungan demi kekuasaan. Itu sebabnya, hemat saya, mengukur keberhasilan SBY dan kabinet jilid duanya harus dari tingkat kesadaran tentang pentingnya penerapan etika politik. Lalu, etika politik yang bagaimana?

Etika politik menjadi penting dan tak terbantahkan jika penerapannya dipertalikan dengan praktik komunikasi politik yang etis. Dalam konteks ini, praktik tesebut diandaikan akan menemukan hakikatnya jika subjek-subjek yang memraktikkannya memahami bahwa nilai, makna, dan norma moral ditentukan oleh “pengetahuan-kekuasaan”. Implikasi dari hal ini, maka SBY dan kabinet jilid duanya, sebagai salah satu lembaga pemraktik komunikasi politik (di sisi lembaga pers, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif), dapat pula dikatakan sebagai hasil dari “pengetahuan-kekuasaan” para subjek yang terlibat di dalamnya. Sebagaimana diketahui umum, perkembangan dahsyat teknologi dan informasi dewasa ini menyebabkan informasi begitu terbuka, sehingga kebenaran informasi yang disampaikan oleh SBY dan kabinet jilid duanya berpelung menimbulkan problem etis sehubungan dengan iklim berbangsa dan bernegara. Problem etis ini terutama sekali dipicu oleh munculnya praktik “pengetahuan-kekuasaan” yang dilakukan oleh tiga bentuk “kejahatan” yang telah disebutkan.

Berpijak dari hal di atas, maka dari perspektif kritis terlihat bahwa bahasa ternyata berperan sangat penting sebagai alat penyebar “pengetahuan-kekuasaan” tersebut. Dalam pertaliannya dengan komunikasi politik yang etis, dengan demikian bahasa SBY dan kabinet jilid duanya harus menjadi pemenang dalam pertarungan kekuasaan. Memenangkan pertarungan kekuasaan bagi SBY dan kabinet jilid duanya melalui bahasa adalah wujud lain dari upaya penyadaran etika politik bagi masyarakat, dalam rangka mencerdaskan masyarakat itu sendiri.

Lalu, apa sebenarnya makna kekuasaan? Paradigma usang menegaskan bahwa terlaksananya kekuasaan disebabkan oleh hasil kekerasan, hasil persetujuan, hasil represi, atau hasil pertarungan kekuatan, sebagaimana dikatakan Freud, Reich, Machiavelli, dan Marx. Padahal, sementara itu, paradigma kritis dewasa ini menyatakan bahwa terlaksananya kekuasaan, sebagaimana dikatakan Foucault, ternyata lebih disebabkan oleh seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi, dan larangan. Kekuasaan, dengan demikian, bukanlah suatu institusi, struktur, dan bukan pula suatu kekuatan yang dimiliki, melainkan “hanya” nama yang diberikan pada suatu situasi strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat. Pendapat Foucault ini agaknya bisa dibenarkan jika dipertalikan dengan fungsi SBY dan kabinet jilid duanya sebagai pemraktik “pengetahuan-kekuasaan”. Fungsi ini dalam konteks ini dapat dikatakan melekat pada fungsi dasar sebuah pemerintahan sebagai penyebar informasi “terbaru” dan sebagai wadah pendidikan politik dalam hal berbangsa dan bernegara bagi masyarakatnya. Sebagaimana diketahui umum, perubahan sikap suatu masyarakat pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya informasi yang baru, yang diterimanya secara kontekstual sehubungan dengan tuntutan zamannya. Akan tetapi, menurut Merril (2006), misalnya, besar-kecilnya perubahan tersebut justru ditimbulkan oleh pers akibat efek jurnalisme yang dimilikinya. Apalagi, sebagai pemraktik “pengetahuan-kekuasaan” ternyata pers menempati urutan pertama sebagai pemengaruh perubahan dibandingkan dengan lembaga eksekutif. Fakta membuktikan, pers nasional sejak awal era Reformasi berkat kebebasan yang diterimanya berhasil memengaruhi masyarakat dalam hal persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan para anggota DPR. Peristiwa unjuk rasa mahasiswa sehubungan dengan kenaikan harga BBM atau praktik korupsi yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPR, misalnya, membuktikan betapa efektifnya fungsi pers sebagai pemengaruh perubahan sikap masyarakat.

Dalam konteks komunikasi politik, dengan demikan SBY dan kabinet jilid duanya sebagai pemraktik “pengetahuan-kekuasaan” mestinya jauh lebih eksis dibandingkan dengan pemraktik kekuasaan lainnya, terutama jika dihubungkan dengan pemraktik kekuasaan yang berupa tiga bentuk “kejahatan” yang telah disebutkan, yakni kekerasan, politik uang, dan korupsi. Siapa pun tentu tidak sependapat bahwa kekerasan, politik uang, dan korupsi adalah sesuatu yang harus ada dalam penyelenggaraan negara, sekalipun kemunculan dan dampaknya sebagaimana dapat dilihat berkesan makin terstruktur dan makin mencolok mata, seperti kekerasan terlembaga, radikalisme, fanatisme, dan praktik suap-menyuap.

Dalam perspektif etika berbangsa dan bernegara, ketiga bentuk “kejahatan” tersebut tentu merugikan masyarakat, karena akan melukai nilai-nilai keadilan sehingga fokus masyarakat pada perkembangan masa depan bangsa menjadi lemah. Oleh karena itu, SBY dan kabinet jilid duanya amat membutuhkan pemahaman mengenai etika politik, mengingat tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama, dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun lembaga-lembaga yang adil. Pemahaman ini juga akan makin menyadarkan betapa pentingnya fungsi bahasa sebagai penopang praktik komunikasi politik yang etis dalam rangka penyebarluasan “pengetahuan-kekuasaan”.

Di dalam komunikasi politik, bahasa adalah elemen yang amat berperan sentral dalam menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada.

Pasarminggu, 2010

Tidak ada komentar: