| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Minggu, 10 April 2011

Sang Briptu (yang Nyaris) Kena Sensor: Caiya, Caiya, Caiya…

Oleh Dr. Wahyu Wibowo


Rencana sanksi berupa teguran yang dijatuhkan kepada Briptu Norman, atas aksi bernyanyinya di YouTube, mengesankan bahwa semangat sensor masih “berjaya”.


Cikal-bakal sensor (pemeriksaan dan pengawasan), ditengarai berawal sejak zaman Romawi, yakni ketika Julius Caesar menjabat konsul pada 60 SM. Pada saat itu, Caesar memerintahkan para anggota senat untuk menulis aktivitasnya sehari-hari dalam acta diurna, lembaran kertas mirip brosur, dan harus ditempelkan di Pusat Kota. Anggota senat yang membangkang, sudah pasti kena sanksi.

Caesar pasti tidak pernah membayangkan bahwa idenya tentang sensor berabad-abad kemudian dijadikan “aksesori” sejumlah negara. Dikatakan aksesoris, karena tanpa lembaga sensor sebuah negara menganggap dirinya kurang lengkap. Pasalnya, pemerintah merasa diri sebagau pemegang kendali utama keselamatan bangsa dan negara. Itu sebabnya, harus dilakukan sensor terhadap film, misalnya, dengan argumentasi demi menangkal masuknya pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia.

Tapi, semua ihwal sensor itu tidak pernah dijelaskan dalam “bahasa sehari-hari”, kecuali penekanan bahwa penyensoran oleh pemerintah tidak melanggar konstitusi. Apa hubungan antara makna “adegan cabul” misalnya yang harus disensor dan pelanggaran konstitusi, jika sehari-hari kita dengan mudah menemukan para penjual VCD porno di kaki lima. Apa pula makna pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia, sementara itu kita membiarkan sejumlah produk budaya kita dicuri oleh negara tetangga.

Selama ini barangkali kita hanya berpikir secara koherensi bahwa lembaga sensor merupakan lembaga yang konsisten dalam melakukan tugasnya. Padahal, sebagaimana telah disinggung, koherensi dan konsistensi tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan kenyataan di luaran. Sebanyak film yang sudah disensor, umpamanya, sebanyak itu pula pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia tetap merasuk

Artinya, sekarang kita tidak lagi bisa berpendapat bahwa sensor yang dilembagakan berdaya guna menjadi “pengaman” tata nilai dan budaya Indonesia, mengingat tata nilai dan budaya adalah sebuah proses dialektika antarindividu di dalam masyarakat. Apalagi, bukankah kini kita telah mampu melakukan sensor sendiri, misalnya kita bebas memilih tontonan yang kita sukai, terutama ketika rata-rata bioskop dan televisi kita menayangkan film yang bertema seragam alias itu-itu saja.

Dari hal di atas, menjadi jelas bahwa sensor justru sudah tersebar dan terlembaga di dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini menandakan bahwa manusia memang bersifat unik dan oleh karena itu kehidupannya pun amat plural dan kontekstual.

Bukan kelas warung kopi

ANDAI sensor sudah tersebar dan terlembaga di dalam masyarakat, pertanyaan kritisnya mengapa aktivitas bernyanyi Briptu Norman di YouTube (rencananya) harus berbuah sanksi peneguran? Tayangan yang menghibur ini memang tidak kena sensor dari YouTube. Justru, sang Briptu itu sendiri yang kena sensor komandannya.

Dari perspektif etika, kita memang tidak pernah tahu apakah kode etik di kesatuan sang Briptu itu ada pelarangan bernyanyi bagi anggotanya, terutama berseragam dinas dan sambil bertugas. Suatu kode etik, sebagaimana telah diketahui, hanya berlaku bagi suatu komunitas. Kode etik disusun sehubungan dengan pencegahan tindakan tidak terpuji terhadap orang lain di luar komunitas tersebut. Melarang wartawan menulis berita yang sensasional, misalnya, itu adalah tuntutan kode etik jurnalistik demi mencegah kerugian terhadap orang lain yang bukan wartawan, baik itu narasumbernya maupun khalayak pembacanya.

Jadi, andai ingin terus direnungi, bagaimana dengan polisi yang bernyanyi di atas mobil terbuka di tengah jalan pada pagi hari ketika orang sedang berangkat bekerja. Bagaimana pula dengan polisi yang mengikuti lomba menyanyi di televisi atau polisi yang senang mengutak-atik telepon genggamnya di tepi jalan? Apakah karena sang Briptu tidak meminta izin terlebih dahulu untuk menayangkan aksi bernyanyinya di YouTube, lantas mesti "disensor" komandannya?

Saya meyakini Briptu Norman adalah juga manusia biasa. Menurut filsuf Ricoeur (1981), eksistensi manusia ditandai oleh unsur resiproritas di dalam dirinya yang bercampur-baur dengan motif, kehendak, dan ketaksengajaan. Wujudnya, seperti contoh Briptu Norman, muncullah “kemampuan” berjoget, bernyanyi India, dan menayangkannya di You Tube, tanpa harus mengaitkannya dengan seragam dinas dan tugasnya.

Itu sebabnya, cobalah memandang “kelakuan” sang Briptu itu dari paradigma kritis. Artinya, kekuasaan tidak lagi sekadar penyatuan yang dipaksakan oleh suatu lembaga. Hal ini mengindikasikah bahwa munculnya tegangan di dalam hubungan antara kekuasaan dan subjek-subjek, menurut Foucault (2004), mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar. Kekuasaan tidak lagi berarti penekanan oleh satu pihak/lembaga, mengingat kekuasaan berkelindan dengan proses ekonomi, politik, dan budaya.

Caesar pasti tidak pernah membayangkan bahwa idenya tentang sensor masih dijadikan “aksesori sensor” oleh kita dalam menilai sesuatu yang menurut kita tidak pantas. Padahal, pantas dan tidak pantasnya sesuatu harus dapat dijelaskan melalui pertimbangan etis yang bukan sekadar “menurut kita”. Andai cara menilai ini belum menjadi kesadaran etis kita, maka yang muncul adalah pertimbangan yang kelasnya terkategori obrolan warung kopi belaka, dan bukan pertimbangan kelas akademik.

Itu sebabnya, kita pun harus buru-buru “menyensor diri” bahwa semangat sensor yang berapi-api sama sekali tidak bertalian dengan jabatan apalagi serta-merta bertalian dengan konstitusi. Buktinya, Briptu Norman dapat tetap melantunkan suara emasnya, wajahnya muncul di TV, dan namanya diramaikan media massa cetak. “Caiya, caiya, caiya…”

Depok, 10 April 2011

Tidak ada komentar: