| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Rabu, 01 Juni 2011

Menyangsikan Pancasila sebagai Ideologi Kebangsaan?


Oleh  Dr. Wahyu Wibowo
 


Ideologi memang sering kali menimbulkan masalah. Padahal, pada dasarnya ideologi adalah sistem pengetahuan dalam berbangsa dan bernegara.

 
Sudah lama para filsuf berdebat mengenai ideologi. Rata-rata mereka menggarisbawahi bahwa ideologi adalah bentuk kesadaran yang dilegitimasi dan dipercaya bersama oleh suatu masyarakat.

Studi Geuss (1990) mencatat bahwa sejauh ini perdebatan tersebut setidaknya dapat dipayungkan di bawah tiga perspektif. Yang pertama, perspektif deskriptif-antropologis yakni mereka yang beranggapan bahwa ideologi adalah konsep, ide, atau kepercayaan kelompok-kelompok masyarakat, baik yang dapat dieksplisitkan maupun yang tidak. Kalau kita pernah mendengar istilah “ideologi agama”, misalnya, maka maknanya adalah serangkaian kepercayaan nyata tentang sesuatu yang luar biasa. Yang kedua, perspektif peyoratif yaitu mereka yang berasumsi bahwa ideologi hanyalah berupa kesadaran palsu, mengingat kepercayaan-kepercayaan yang terkandung di dalamnya tidak tersedia secara empiris atau tidak dapat dilihat dan diraba. Oleh karena itu, menurut Habermas (1981), asumsi ini harus “diluruskan” secara kritis.

Agar tidak palsu, atau agar dapat disebut ideologi (dibaca: pandangan dunia), Habermas mengatakan ideologi sebagai sebuah kesadaran harus diberi sifat fungsionalnya, yakni dalam rangka mendukung, menstabilkan, atau melegitimasi macam-macam institusi atau praktik sosial tertentu. Implikasinya, boleh saja institusi atau praktik sosial itu dikritik, atau bahkan dicela, agar kesadaran palsu itu tidak lagi terwujud. Yang ketiga, perspektif positif yakni mereka yang memercayai bahwa ideologi haruslah dibentuk atau dikonstruksi, sehubungan dengan tuntutan eksistensial manusia perihal hidupnya di dunia dalam rangka meraih “kebenaran”, “kebaikan”, dan “keindahan”. Mengingat tuntutan eksistensial tersebut tidak sepenuhnya dapat “dijawab” oleh kebudayaan mereka, menjadi logis bila mereka membutuhkan ideologi. Dengan demikian, suatu kebudayaan dalam konteks ini tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai fakta yang sudah hadir pada dirinya sendiri, atau sudah tersedia begitu saja, sebab jangan-jangan itu adalah hasil konstruksi.

Dari hal di atas, mungkin kita dapat melihat Pancasila melalui ketiga perspektif tersebut. Pasalnya, bukankah secara deskriptif-antropologis kita sudah lama mengakui Pancasila sebagai ideologi kebangsaan, namun terkadang kita lupa bahwa Pancasila hidup berdampingan dengan ideologi-deologi individu. Dari sudut peyoratif-fungsional, kita juga sempat merasakan bagaimana Pancasila pernah dijadikan alat kekuasaan terkait dengan tuntutan legitimasi rezim yang berkuasa, sehingga sebagai kesadaran ideologi Pancasila ketika itu berubah menjadi kesadaran palsu yang tidak berkorelasi dengan segi-segi empiriknya. Itu sebabnya, melihat sifat positifnya yang selama ini terbuka pada proses perkembangan kehidupan, agak sulit diterima akal jika ada yang berpendapat bahwa Pancasila adalah “barang antik yang mesti digosok lagi supaya berkilap”. Pendapat semacam ini, selain mempertontonkan betapa ia tidak mampu memuaskan segala kebutuhan masyarakat dan bangsa ini, juga menunjukkan betapa ia kurang piawai dalam memahami nilai-nilai Pancasila.

Dari sudut empirik, ideologi Pancasila berisikan sekumpulan nilai yang diangkat dari prinsip-prinsip nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita, yakni nilai-nilai religius, adat-istiadat, kebudayaan, dan kenegaraan. Sekumpulan nilai ini dapat disebut dalam istilah nilai kearifan, yakni konsep tentang penghargaan warga masyarakat terhadap hal-hal atau sifat-sifat yang bermanfaat dan penting bagi manusia sehubungan dengan kepandaiannya menggunakan akal budi dan pengalaman. Itu sebabnya, Pancasila bukanlah ideologi yang harus kita sangsikan.

Pancasila juga tidak mungkin dipahami hanya melalui kacamata moral belaka, karena pada hakikatnya Pancasila adalah sistem pengetahuan bagi kita dalam berbangsa dan bernegara.

Pasar Minggu, 1 Juni 2011

Tidak ada komentar: