| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Sabtu, 13 Agustus 2011

Renungan Hari Kemerdekaan:  Pemerintah (Telah) Mandek?


Oleh Dr. Wahyu Wibowo



Menyimak pemberitaan surat kabar belakangan ini tentang kinerja pemerintah, dan mengaitkannya dengan HUT RI ke-66, percayalah pemerintah memang telah mandek.


Melalui pengutipan narasumber yang boleh dianggap merepresentasikan opini orang se-Indonesia, diungkapkan oleh surat kabar bahwa kemandekan pemerintah karena kepemimpinan yang tidak efektif, tersandera kasus korupsi, dan terbelenggu oleh koalisi partai politik.

Bagaimana “membaca” kemandekan pemerintah itu? Dari perspektif etika politik, praktik kekuasaan zaman modern ditengarai selalu diwarnai oleh tiga “bentuk kejahatan”, yakni kekerasan, politik uang, dan korupsi. Dalam wujud dan nama yang berbeda, hakikat ketiga “bentuk kejahatan” itu setidaknya kini sedang kita saksikan melalui surat kabar, sehingga muncul penyimpulan bahwa pemerintah telah mandek.

Selaras dengan kenyataan hakiki perihal tiga “bentuk kejahatan”, kita juga melihat bagaimana bangsa ini memaknai demokrasi. Pelbagai ungkapan dan perilaku yang semula bersifat individual, dan benar-benar dijaga oleh nilai-nilai etis kebangsaan, misalnya, tiba-tiba saja berubah total bersifat publik. Jika terjadi kegaduhan, maka mereka yang bergaduh saling mencari pembenaran melalui penalaran yang kontaminatif, karena mengacaukan antara konsep nyata dan kosep formal. Itu sebabnya, bangsa ini lebih suka membuat model demokrasi (mungkin juga model-model lainnya) dengan cara merujuk mentah-mentah pemikiran orang Barat (konsep formal), ketimbang “menyusun” demokrasi made in sendiri (konsep nyata), padahal kita sendiri memiliki “bahan mentah” yang melimpah-ruah. Itu pula sebabnya, jika membaca surat kabar, kita selalu ditampilkan sebagai bangsa yang pesimistis, senang bergaduh, tapi serakah. Penampilan ini, tentulah pantulan dari ketiga “bentuk kejahatan” yang telah disebutkan tadi.  

Model demokrasi
Ketiga “bentuk kejahatan” itu, yang memang sulit dilepaskan dari praktik kekuasaan, menjadi niscaya jika masyarakat tidak rajin diberi penyadaran tentang pentingnya penerapan etika politik.

Melakukan penyadaran dengan memungut begitu saja demokrasi Barat untuk dijadikan model dalam kita berdemokrasi, agar ketiga “bentuk kejahatan” tersebut dapat dilenyapkan, tentulah sia-sia mengingat demokrasi adalah proses yang berkelindan dengan konteks kehidupan tiap-tiap bangsa. Apalagi, kita juga kerap keliru dalam memahami istilah model itu sendiri.  Selama ini, model dipahami sebagai bangunan intelektual yang menyederhanakan realitas untuk bisa dipahami. Titik. Padahal, menurut Burke (2011), penyederhanaan realitas dalam suatu model cenderung ditujukan dalam rangka penekanan berulang-ulang pada hal-hal umum dan hal-hal khusus yang terdapat dalam realitas tersebut melalui sekumpulan ciri dasar dan atribut. Itu sebabnya, tidak dapat dikatakan “model demokrasi Amerika” atau “model demokrasi Eropa”. Jika di dalam kedua bentuk demokrasi ini dapat ditunjukkan adanya sekumpulan ciri dasar dan atribut yang berulang, umpamanya “kekuasaan”, “kepaduan sosial”, dan “musyawarah-mufakat”, barulah kita dapat menyusun sebuah model demokrasi.

Hal lain yang masih membingungkan kita adalah makna kekuasaan. Paradigma “usang” memang menegaskan bahwa berjalannya kekuasaan disebabkan oleh hasil kekerasan, hasil persetujuan, hasil represi, atau hasil pertarungan kekuatan, sebagaimana dapat kita baca melalui Freud, Machiavelli, atau Marx. Padahal, dalam paradigma kritis dewasa ini, berjalannya kekuasaan, seperti ditegaskan Foucault (2009), ternyata lebih disebabkan oleh seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi, dan larangan.

Mungkin Foucault benar andai pendapatnya itu dipertalikan dengan fungsi pers sebagai penyebar pengetahuan (persuasi) yang sekaligus sebagai pemraktik kekuasaan (tindakan). Dalam konteks pembicaraan ini, fungsi tersebut memang melekat di dalam fungsi dasar pers sebagai penyebar informasi “terbaru” dan sebagai wadah pendidikan politik pembacanya dalam hal berbangsa dan bernegara. Pasalnya, perubahan sikap suatu masyarakat pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya informasi yang selalui diperbarui secera topikal dan kontekstual, yang diterimanya melalui pers.

Fakta membuktikan, bukankah kita bisa langsung berubah sikap, ketika mengetahui bahwa pemerintah sudah mandek, hanya karena membaca surat kabar beberapa bulan terakhir ini.

Mencitrakan media
Pentingnya etika politik memang tak terbantahkan andai penerapannya dipertalikan dengan praktik komunikasi politik yang etis. Dalam kaitan ini, praktik komunikasi politik yang etis diandaikan menemukan hakikatnya jika subjek-subjek yang memraktikkannya memahami bahwa norma moral harus dijejakkan pada nilai-nilai luhur bangsa.

Implikasi dari hal di atas ini, kita bisa berharap banyak pada pers untuk berperan sebagai lembaga pemraktik komunikasi politik yang etis, ketika diandaikan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah makin kehilangan sinarnya. Apalagi, dari perspektif kritis terlihat bahwa peran tersebut memang harus dilakukan oleh mereka yang sadar bahasa. Dalam ungkapan lain, bahasa adalah alat pengungkap segala realitas, yang oleh karena itu dapat digunakan di dalam jurnalistik untuk alat pemraktik komunikasi politik yang etis.

Siapa tahu, peran pers yang seperti itu mampu mempertebal kesadaran etika politik kita, dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga ketika membaca surat kabar kita tidak lagi melihat wajah kita yang pesimistis, senang bergaduh, tapi serakah.

Merdeka!

Bulan Puasa, 13 Agustus 2011

Tidak ada komentar: