| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Kamis, 12 Agustus 2010

POSTMODERNISME?

 
Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Di dalam perspektif filsafat, sejarah pemikiran pada umumnya terbagi atas (a) filsafat modern (berlangsung sejak pertengahan Abad ke-16 hingga awal abad ke-20) dan (b) filsafat kontemporer (Abad ke-20 hingga dewasa ini). 

FILSAFAT kontemporer masih melanjutkan isu-isu utama dalam filsafat modern (metafisika, epistemologi, dan antropologi/humanisme), tetapi dengan frame yang amat berbeda. Perbedaan ini, di antaranya karena menyinggung isu-isu mengenai kapitalisme, alienasi, lingkungan/persekitaran, demokrasi, dan HAM.

Kebanyakan pengamat filsafat Abad ke-20 dan ke-21 agaknya juga bersepakat bahwa filsafat kontemporer berawal dari pemikiran Nietzsche (Vattimo, 2003). Pemikiran Nietzsche yang sangat “menggetarkan” untuk Abad ke-20 itu berisikan kritikan tajam mengenai moral kebudayaan Barat. Bangsa Eropa, yang mengklaim diri sebagai penjunjung tinggi nilai moral dan humanisme, bagi Nietzsche tak lain sebagai kaum pengkhianat. Contohnya adalah kolonialisme Barat terhadap bangsa-bangsa di Timur, dan juga kebiadaban di Warsawa, Auschwitz, Hiroshima, Vietnam, Palestina, Irak, dan sebagainya. 

Bagi Nietzsche telah terjadi kegagalan peradaban modern. Manusia modern memang memuliakan rasionalitasnya, tetapi dengan itu mereka terjerumus ke dalam kebiadabannya. Zaman kontemporer, dengan demikian, menurut Nietzsche ditandai oleh pluralisme. Bagi Nietzsche, pluralisme ditafsirkannya sebagai “nihilisme” alias “nilai nol” (oleh Nietzsche nihilisme dikemukakan dengan ungkapan “Tuhan telah mati” – WW). Nihilisme juga berarti pembongkaran bangunan-bangunan yang ada, sehingga kita terbebas melihat sesuatu yang baru.  


Sutan Takdir Alisjabhana dalam Perspektif Postmo

Sebagai pembatas perbincangan, perlu dikemukakan di sini bahwa aliran filsafat kontemporer meliputi: (1) Neo-Kantianisme; (2) Neo-Marxisme; (3) Fenomenologi; (4) Eksistensialisme; (5) Strukturalisme; (6) Poststrukturalisme dan Postmodernisme; dan (6) Pragmatisme. Aliran-aliran ini memang tidak berkorelasi secara berantai, namun berkembang sesuai dengan konteks pemikiran filsuf pendahulunya.

Gerakan postmodernisme (postmo) dapat dilihat melalui perbedaannya dengan gerakan modernisme sebagai berikut.

Atribut Modernisme
Atribut Postmo
Sentralisasi
Desentralisasi
Pertarungan kelas
Pertarungan etnis
Konstruksi
Dekonstruksi
Kultur
Subkultur
Hermeneutis
Nihilsme
Budaya tinggi
Budaya rendah
Agama
Sekte-sekte
Kekuatan negara
Kekuatan bersama
Legitimasi
Deligitimasi
Konsensus
Dekonsensus
Uniformitas
Pluriformitas
Homogenitas
Heterogenitas
Teori
Paradigma


Kaum strukturalis kenamaan seperti Lacan, Foucault, dan Derrida pada awalnya adalah pemikir dengan corak strukturalistis. Akan tetapi, ketika mereka mengkritik pemikiran mereka sendiri, mereka kemudian disebut sebagai poststrukturalis. Gagasan mereka ini sama dengan (jika tidak hendak dibaca dipengaruhi oleh) gagasan kaum postmodernisme, seperti Nietzsche, Husserl, dan Wittgenstein.

Dalam hal bahasa, menurut Wittgenstein, misalnya, tidak ada aturan umum dalam bahasa, sebab tiap-tiap bahasa memiliki pluriformitas dan tata permainannya sendiri-sendiri (language games). Selain hal ini, Wittgenstein menggarisbawahi bahwa yang harus diperhatikan dalam bahasa adalah meaning in use. Sementara itu, Lyotard (yang “dipengaruhi” pemikiran Wittgenstein) mengatakan bahwa proyek modernisasi telah gagal membebaskan manusia dari belenggu dogmatis, karena adanya grand narratives yang kemudian dijadikan mitos yang melegitimasi institusi-institusi, praktik-praktik sosial, sistem hukum, moral, dan seluruh cara berpikir manusia.

Dalam konteks dengan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (Takdir), maka semangat postmo yang dimiliki Takdir terlihat menonjol ketika mengatakan bahwa linguistik (sebagai produk Ilmu Bahasa modern) cenderung memperlakukan bahasa secara otonom. Alhasil, gejala kebahasaan seperti kedwibahasaan tidak dapat diterangkan dengan memadai. (Di tempat berbeda, bahkan Takdir juga pernah berseru, “Pusat Bahasa harus dibubarkan!” – WW). Melalui tulisannya, “Kegagalan Ilmu Bahasa Modern dalam Menghadapi Soal-soal Abad ke-20” (1988), Takdir menegaskan pula bahwa linguistik membuat perhatian terhadap bahasa hanya difokuskan pada segi-segi yang statis dan mikro. Dalam ungkapan Takdir: “Linguistik struktural dan fonologi dengan penyajiannya yang teliti tentang peristiwa bahasa yang bersifat mikro, memencilkan ilmu bahasa dari usaha yang besar untuk memajukan bahasa-bahasa di dunia modern.”

Hegemoni Pemerintah, dengan menjadikan bahasa sebagai objek monolitisme, memang dapat kita lihat melalui sejumlah pembakuan yang diberlakukan pada seluruh tata permainan, situasi, dan konteksnya. Padahal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang multilingual, yang “bersepakat” menerima kedudukan dan fungsi istimewa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, bahasa kesatuan, dan bahasa persatuan. Patut segera dikemukakan bahwa di balik ungkapan “bersepakat” itu, bahasa Indonesia digunakan sehari-hari oleh masyarakat bersama-sama dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya (Betawi, Jawa, Sunda, Madura, Padang, Batak, dan seterusnya). Selain itu, bahasa Indonesia digunakan pula bersama-sama dengan bahasa Belanda, Inggris, Arab, Mandarin, atau Jepang, sesuai dengan tata permainan, situasi, dan konteks pemakaiannya. Alhasil, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu rata-rata orang Indonesia.

Monolitisme bahasa tersebut sebagaimana kita tahu adalah warisan semangat empiris-positivisme yang tumbuh pada abad ke-17 di Eropa, yang kemudian dikembangkan begitu rupa sejak awal abad ke-20 oleh kaum linguis strukturalisme-empiris Perancis dan AS pengikut Ferdinand de Saussure. Mungkin kita juga sudah tahu, kaum linguis strukturalisme-empiris pada umumnya menganggap bahwa bahasa dapat dilepaskan dari masyarakatnya atau bahasa tidak berkaitan dengan sejarahnya. Anggapan ini, kiranya dapat dibenarkan karena dilandaskan dari konsep filosofis strukturalisme itu sendiri: (1) desentralisasi manusia; (2) kematian manusia sebagai subjek; dan (3) manusia dibicarakan dalam rangka struktur bahasa, sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, anggapan ini dapat dikategorikan agak sembrono, mengingat ucapan Hegel bahwa “akulah yang menciptakan sejarah”. Itu sebabnya, Takdir menggarisbawahi bahwa ilmu bahasa modern membuat repot bangsa Indonesia dalam menyikapi bahasanya.

Dalam ungkapan lain, semangat strukturalisme-empiris yang dengan dahsyatnya merasuki kurikulum bahasa Indonesia menyebabkan siswa dan mahasiswa kita kehilangan ruang dan waktu dengan bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat. Padahal, sebagaimana dikatakan Wittgenstein, dalam hal berbahasa kita harus bersikap “don’t think, but look. Artinya, jangan berpikir bagamaina bahasa seharusnya dibentuk, tetapi lihatlah bagaimana bahasa membentuk dirinya. Tokoh gerakan Filsafat Bahasa Biasa kelahiran Wina (1889) ini pula yang di dalam sejarah filsafat kontemporer dicatat mampu menggetarkan lajunya perkembangan linguistik strukturalisme-empiris Prancis. Menurut Sturrock (2004), teori Sussure tentang asal-usul alamiah bahasa yang kemudian menjadi dasar linguistik strukturalisme modern itu sebenarnya kurang mendapat respons di negara-negara Anglo Saxon. Namun, akibat persebarannya ke AS, semangat strukturalisme-empiris Saussure kemudian “berkuasa” hingga dewasa ini. Padahal, kelahiran fenomenologi (Husserl), teori kritis (Habermas), postmodernisme (Lyotard, Derrida, dan Foucault), atau linguistik pragmatik (Ross dan Lakoff), amat kental disemangati oleh pemikiran Wittgenstein.  


Semangat postmo

Dari uraian di atas, kiranya dapat digarisbawahi bahwa semangat postmo pada hakikatnya berkelindan dengan penolakan terhadap kebenaran tunggal dalam filsafat dan ilmu. Selain hal ini, semangat postmo juga menolak terhadap pendefinisian mengingat para tokohnya memang tidak memberi definisi.

Dengan demikian, yang disebut postmo tidak dapat diartikan sebagai “asal berbeda” atau “pokoknya berbeda” (dari yang umum). Di dalam kehidupan ini, semangat “asal berbeda” atau “pokoknya berbeda” tentu tidak memiliki nilai aksiologisnya sama sekali. Semangat semacam ini justru akan memunculkan “uniformitas baru”. Oleh karena itu, semangat postmo harus didukung oleh daya intelek yang tinggi, karena (1) demi mencerahkan siapa pun agar tidak terbelenggu oleh pikiran yang picik atau sifat mau menang sendiri; dan (2) demi emansipator atau pembebas siapa pun dari belenggu rasa frustrasi.

Postmo memang lebih bermakna sebagai “proses pencarian” ketimbang berhenti sebagai sekadar definisi bahwa “saya harus berbeda”. Berbeda bagaimana, wong pada hakikatnya kita memang sudah hidup dalam pluralitas.

Kota Depok, Bulan Puasa 2010  

Tidak ada komentar: