| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Selasa, 11 Mei 2010

Kasus Mbah Priuk dari Sudut Forensik Bahasa

Kesepakatan Koja, betapa pun, tetap meninggalkan kepedihan tersendiri, yang dari sudut forensik bahasa mencerminkan kesadaran “yang diciptakan” (bukan “yang tercipta”).

Dari sudut forensik bahasa, ungkapan “makam Mbah Priuk akan digusur” dan ungkapan “makam Mbah Priuk adalah makam keramat”, merupakan dua tata permainan bahasa yang mengandung suatu nilai kehidupan yang diyakini oleh masing-masing penggunanya. Ketika kedua tata permainan bahasa ini bercampur, maka pecahlah bentrokan masal yang berdarah-darah di antara pihak Satpol PP dan masyarakat Koja.
Dari hal di atas, benarlah Wittgenstein (1983) ketika menegaskan bahwa di dalam kehidupan ini banyak sekali tata permainan bahasa, dengan aturannya masing-masing, yang mencerminkan suatu nilai kehidupan masyarakat penggunanya. Dengan demikian, Peristiwa Koja bukanlah semata-mata peristiwa politik, ekonomi, atau hukum, melainkan lebih sebagai ketidakpahaman pihak penguasa terhadap suatu tata permainan bahasa yang hidup di kalangan masyarakatnya.


Kesadaran yang diciptakan

Ketidakpahaman pihak penguasa terhadap suatu tata permainan bahasa, misalnya tampak pada sikap mereka yang berkesan mengabaikan eksistensi historis Mbah Priuk. Selama ini, makam keramat Mbah Priuk oleh masyarakatnya dipercaya sebagai makam Habib Hasan bin Muhamad al Hadad. Tebalnya kepercayaan masyarakat, yang dalam perspektif forensik bahasa dapat dipertalikan dengan nilai-nilai religiusitas, agaknya mudah kita buktikan melalui fakta bahwa Mbah Priuk adalah penyiar Islam pertama di Betawi dan sudah dimakamkan di sana sejak 1756. Oleh karena itu, amat mengherankan jika ada yang menganggap makam itu hanya sebagai sebidang tanah. Fakta pembanding dapat dikemukakan, misalnya mengapa eksistensi gua Massabielle, di Lourdes, Prancis, hingga kini masih dipertahankan.
Ketidakpahaman pihak penguasa terhadap suatu tata permainan bahasa, juga mudah ditelusur melalui Sembilan Hasil Kesepatan Koja, yang salah satu butirnya menekankan bahwa terhadap penyelesaian permasalahan sosial akan dilibatkan tokoh agama dan masyarakat (Kompas, 16/04). Dari sudut forensik bahasa, kesadaran pihak pemerintah adalah kesadaran “yang diciptakan” dan bukan “yang tercipta”. Kesadaran yang diciptakan, jika diselaraskan dengan pendapat Drengsong (1992), merupakan dampak dari technophilia, yakni kecintaan membabi-buta terhadap teknologi akibat pembangunan yang kapitalistik. Dampak dari hal ini, nalar manusia tak bisa lagi menjadi objektif, karena objektivitas dimaknai hanya sebagai apa pun “yang konkret” sejauh ia terikat dengan kepentingan-kepentingan suatu pihak. Andai hendak direnungi, nalar yang tak bisa lagi menjadi objektif sebenarnya sudah merajalela ketika muncul Renaissance di Eropa (abad ke-16 dan ke-17), ketika terjadi penolakan terhadap dominasi gereja yang dikatakan selalu memfokus pada sesuatu yang abstrak. Itu sebabnya, di dalam penelitian akademik, misalnya, pendukung Renaissance berprinsip bahwa segala hal harus dapat dikonkretkan.
Namun, sejak lahirnya rasionalisme dan empirisme, yang kemudian dilanjutkan oleh positivisme dan strukturalisme, semangat Renaissance kehilangan wajah aksiologisnya. Bayangkan, ilmu bergerak seolah tanpa kendali. Dewasa ini, lihatlah, penelitian ilmiah dan temuan ilmiah makin bergeser dari orientasi akademik ke orientasi pasar. Teknologi, contohnya, yang pada hakikatnya dirancang sebagai alat yang ampuh untuk mengatasi masalah tertentu dalam kehidupan manusia, tiba-tiba menjadi alat eksploitasi manusia. Teknologi berubah wajah menjadi alat pencarian kekuasaan, keuntungan materi, dan belakangan bahkan selalu diidentikkan dengan mondialisasi. Tidak heran jika ada pihak-pihak yang kemudian mengadopsi teknologi mondial itu, sembari mengusung ungkapan “gusur”, “bisnis”, atau gabungan keduanya.
Agaknya benar bahwa teknologi telah mereduksi manusia menjadi budak-budaknya, bahkan di luar kontrol atas diri mereka sendiri, sebagaimana dikatakan Schumacer (1979). Mereka yang tidak dapat beradaptasi dengan kebutuhan teknologi, dapat dengan mudah disepak ke luar gelanggang kehidupan. Itu sebabnya, muncul ungkapan “penggusuran makam Mbah Priuk”, yang memicu bentrokan.


Semangat konspiratif

Memahami banyaknya tata permainan bahasa, demi kehidupan yang bermartabat, mungkin membuat kesadaran kita akan terus-menerus tercipta.
Pasalnya, pada dasarnya kita memang harus mencurigai setiap ungkapan bahasa, sekalipun telah bersubjek dan berpredikat, karena di baliknya selalu tersembunyi semangat konspiratif yang membahayakan

Disampaikan pada diskusi bulanan Center for Wittgenstein Studies, Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional, Jakarta, pada April 2010; Dr. Wahyu Wibowo, penulisnya, adalah juga anggota/pendiri Asosiasi Ilmuwan Forensik Indonesia (AIFI) Bidang Forensik Bahasa.

1 komentar:

Berkaryalah... mengatakan...

Bagaimana penguasa mo ngerti tata permainan bahasa, otaknye ketutup ame kebiasaan"nge-jangkrik duit rakyat". Seandainya masyarakat Indonesia mempunyai kemampuan tata permainan bahasa, Indonesia akan menjad "sarang Filsuf"!!!!!!!!! Untuk mencapai hal itu, peran "kaum bahasa" menempati posisi sentral (Fakultas Bahasa dan Sastra harus mengambil peren itu). Peran pemerintah juga harus diperhitungkan dan harus berpikir ekstra keras, jangan sepert memikirkan UN yang dapat dikatakan "program gagal". Nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia pada UN 2010 hancur, hal tersebut membuktikan pemerintah tidak serius karena otaknya otak "JANGKRIK".