| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Minggu, 08 Mei 2011

Bahasa Indonesia: “Don’t Think, but Look”



Cara kita mencintai bahasa Indonesia selama ini ternyata aneh. Buktinya, kita masih suka meyakini bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang kita pakai sehari-hari.

Seminar berskala internasional perihal “UU Bahasa dan Implementasinya”, dalam rangka peringatan hari lahir bahasa Indonesia, yang digelar pada 4 Mei 2011 di FIB-UI Depok, mestilah diapresiasi. Sebab, jika melihat pemberitaan surat kabar, topik mengenai bahasa Indonesia kalah telak dengan topik-topik lain yang (menurut pengurus surat kabar itu) mungkin lebih layak jual. Di sisi itu, seminar tersebut juga diramaikan oleh sejumlah makalah dari para tokoh pencinta dan penggulat bahasa Indonesia, seperti Prof. Mien A. Rifai (LIPI), Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana (UI), S. Simanungkalit (wartawan Kompas), dan Riko (dosen muda pengampu mata kuliah Filsafat Bahasa dari Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional, Jakarta).

Tapi, bolehlah kita memaklumi jalan pikiran pengurus surat kabar itu. Pasalnya, cara kita mencintai bahasa Indonesia selama ini memang aneh. Cobalah perhatikan, bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa “yang lain”, yakni bukan bahasa ibu, bukan bahasa sehari-hari, bukan bahasa asing, bukan pula bahasa daerah, namun dikatakan memiliki struktur yang pasti, digunakan secara resmi sebagai media komunikasi rakyat, dan diajarkan di sekolah sebagai mata pelajaran wajib. Bahkan, kamus dan UU bahasa saling bertolak belakang dalam mendefinisikan arti bahasa Indonesia.

Cara kita yang aneh dalam mencintai bahasa Indonesia membuat bahasa Indonesia dewasa ini tidak pernah menjadi bahasa milik rakyat. Ia justru menjadi bahasa yang amat menyusahkan, bahkan lebih susah daripada bahasa Inggris. Di dalam kehidupan nyata, bukankah kita amat kesulitan menentukan apakah orang-orang yang kita jumpai itu sedang berbahasa Indonesia ataukah bahasa apa. Apalagi, sementara itu, institusi tertentu di negeri ini masih berupaya keras melancarkan gerakan “pemitosan” bahasa Indonesia. Melalui paradigma strukturalisme-monolitik, institusi tertentu itu melakukan pembakuan bahasa Indonesia dengan garis bawah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang paling unggul daripada bahasa-bahasa lain di Nusantara. Alhasil, seluruh konteks dan situasi kebahasaan di Indonesia harus bertekuk lutut pada bahasa Indonesia ragam resmi.

Akibatnya, ragam atau bentuk bahasa lainnya diposisikan secara oposisi biner, alias hitam-putih atau baik-buruk. Ragam bahasa pers, contohnya, selalu dijadikan bulan-bulanan tentang pemakaian bahasa Indonesia yang buruk. Pengkajian ragam bahasa pers oleh karena itu “wajib” dilakukan melalui perspektif linguistik yang strukturalisme-monolitik itu, misalnya hanya dengan melihat penggunaan ejaan atau pemakaian kalimatnya. Hal yang sama juga diungkapkan Riko dalam makalahnya yang disampaikan di muka seminar berskala internasional di FIB-UI tersebut. Melalui penelitiannya, Riko membuktikan bahwa ada pengkajian bahasa remaja (melalui sebuah majalah remaja) yang dilakukan pengkajinya dari sudut pandang bahasa Indonesia ragam resmi. Alhasil, pengkajian tersebut menyimpulkan bahwa bahasa remaja tidak mematuhi kaidah baku bahasa Indonesia ragam resmi. Kekeliruan paradigma semacam ini, menurut Riko, membuktikan bahwa pengkaji tersebut selain masih menggunakan paradigma linguistik strukturalisme yang monolitik, juga sekaligus menggarisbawahi ketidakpahaman pengkaji tersebut bahwa bahasa Indonesia ragam resmi tidak dapat digunakan sebagai teori untuk mengkaji ragam bahasa remaja. Dalam ungkapan lain, hemat saya, pengkajian semacam itu ibarat mengiris roti dengan gergaji (penggunaan teori yang tidak cocok).

Sementara itu, berbeda dengan Riko, S. Simanungkalit mempertanyakan mengapa banyak media massa yang masih gemar menggunakan bahasa Inggris. Pertanyaan retoris ini (karena memang tidak dijawab secara argumentatif melalui penelitian mendalam, kecuali letupan-letupan retorika yang berupa opini pribadi), menyebabkan kualitas materi pembicaraan S. Simanungkalit berkesan lebih rendah ketimbang kualitas materi pembicaraan Riko (catatan: agak disayangkan, memang, mengapa panitia menunjuk pemakalah sekelas itu – WW). Padahal, melihat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multilingual, bangsa yang mendiami lebih dari 19.000 pulau, seharusnya mudah dipahami bahwa di luar bahasa Indonesia ragam resmi terdapat pelbagai bentuk bahasa lainnya dengan ciri dan aturannya masing-masing, yang mencerminkan suatu nilai kehidupan masyarakat pemakainya.
Implikasi dari hal di atas, menjadi benar bahasa Indonesia tidak membutuhkan undang-undang. Pasalnya, tiap-tiap bahasa dalam konteks pemakaiannya pada dasarnya memiliki aturan mainnya sendiri. Oleh filsuf Wittgenstein (2007) hal ini ditegaskan bahwa tiap-tiap bahasa sehubungan dengan konteks pemakaiannya memiliki tata permainannya masing-masing. Dengan demikian, menjadi tidak patut jika melihat bahasa secara seragam hanya berdasarkan strukturnya belaka, tanpa menghargai nilai-nilai kehidupan pemakainya. Hal ini patut digarisbawahi, karena bahasa adalah pengungkap segala realitas yang lekat dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang membawa pada dirinya sendiri nilai-nilai kreativitas, etik, dan estetika. Tentu sulit membayangkan jika nilai-nilai tersebut dipagari oleh UU Bahasa. Sama sulitnya membayangkan mengapa bahasa Indonesia harus “dimitoskan”.

@@@

Upaya “pemitosan” itu sejatinya bukan hal yang baru. Pada 1582 di Italia, misalnya, Casimo berupaya keras menjaga kemurnian bahasa Italia dari pengaruh bahasa asing melalui akademi bahasa yang didirikannya. Pada 1636 di Prancis, Richelieu mendirikan Akademi Prancis dengan maksud membakukan bahasa Prancis. Pada 1901 di Indonesia, van Ophuysen menetapkan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin dengan tujuan “menggusur” bahasa Arab dari sekolah-sekolah.

Upaya “pemitosan” itu juga diabsahkan oleh pelbagai teori perencanaan bahasa. Ferguson (1998), misalnya, mengatakan bahwa perencanaan bahasa harus memfokus pada pengabjadan, pembakuan, dan pemodernan. Dalam konteks ini tampaknya bahasa Indonesia memang dijadikan “sekadar” objek perencanaan bahasa. Melalui semangat strukturalisme-monolitik, terbukti selama ini anak-anak kita diajari bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, bahasa kesatuan, dan bahasa persatuan. Padahal, ungkapan “berfungsi” itu seharusnya dibaca seperti ini: bahasa Indonesia adalah salah satu tata permainan bahasa di antara tata permainan bahasa lainnya di Nusantara. Oleh karena itu, kepada anak-anak kita itu juga harus diinformasikan bahwa bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah bahasa Indonesia ragam resmi. Dengan demikian, tidak ada kewajiban meletakkan semua konteks dan situasi kebahasaan di bawah ragam resmi bahasa Indonesia.

Semangat strukturalisme-monolitik yang telanjur mencuatkan “pemitosan” bahasa Indonesia menyebabkan anak-anak kita tercerabut dari konteks keindonesiaan mereka sehari-hari. Padahal, sebagaimana dikatakan Wittgenstein, dalam hal berbahasa kita harus berprinsip “don’t think, but look. Artinya, jangan berpikir bagaimana bahasa seharusnya dibentuk, tapi lihatlah bagaimana bahasa membentuk dirinya. Melalui prinsip kritisnya itu, Wittgenstein dicatat sebagai filsuf bahasa abad ke-20 yang mampu menggetarkan kejayaan linguistik strukturalisme. Terbukti, kelahiran fenomenologi (Husserl), teori kritis (Habermas), atau postmodernisme (Lyotard, Derrida, dan Foucault) amat kental dilandasi oleh prinsip Wittgenstein.

Dengan demikian, menjadi benar ketika Wittgenstein berkata bahwa bahasa (kata-kata dan kalimat) lebih merupakan alat yang dapat dipakai dengan banyak cara daripada sekadar mematut-matutkannya dengan teori linguistik strukturalisme. Alhasil, ungkapan “berbahasa Indonesialah dengan baik dan benar” memang harus segera diluruskan.

@@@

Pada galibnya, bahasa terkungkung oleh “habitus linguistik” dan “pasar linguistik”. Istilah yang dilansir oleh Bourdieu (2004) ini hendak menggarisbawahi bahwa bahasa amat dipengaruhi oleh kecenderungan budaya masyarakatnya dalam mengungkapkan segala realitas. Tapi, kecenderungan itu dipagari oleh sanksi dan sensor dari masyarakat itu sendiri sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mereka.

Dari hal di atas, makin jelas bahwa bahasa Indonesia memang tidak memerlukan undang-undang. Jadi, mengapa kita harus mencintai bahasa Indonesia secara aneh?

Pasarminggu, 8 Mei 2011




Tidak ada komentar: