| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Senin, 12 Juli 2010

Berita Pornografi dari Sudut Forensik Bahasa

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Penyebarluasan berita pornografi biasanya digandengkan dengan kekhawatiran tentang perendahan terhadap martabat perempuan. Namun, efek perlokusi yang ditimbulkan ternyata memang digemari media massa.

KECENDERUNGAN media massa dalam memberitakan pornografi boleh jadi dipicu oleh anggapan bahwa berita pornografi memiliki sensasionalitas dan spektakularitas tinggi, karena mampu menimbulkan kegaduhan.

Padahal, dari kacamata forensik bahasa, kegaduhan akibat sensasionalitas dan spektakularitas tidak serta-merta harus dihasilkan oleh berita pornografi. Pasalnya, selain merendahkan martabat perempuan, berita-berita pornografi akan merendahkan nilai seksualitas perkawinan. Pornografi, yang prinsipnya “semua harus sangat kelihatan” (Haryatmoko, 2007), jika diberitakan justru malah menampilkan wajah kekerasan seksualitas, karena sirnanya kepribadian tubuh: rasa lembut, rasa kemanusiaan, dan rasa kesalingan. Pornografi, yang prinsipnya “harus memberikan semua yang ingin diketahui”, andai diberitakan juga akan memicu efek perlokusi (Wibowo, 2009), atau efek responsif-objektif pembacanya, perihal dominasi pria terhadap perempuan. Dalam berita pornografi, teks akan kehilangan kemandiriannya karena teks hanya diperalat sebagai pemicu hasrat seksual. Itu sebabnya, penyebarluasan pornografi juga kerap dikatakan dapat membahayakan remaja dan anak-anak, karena sifatnya yang cenderung meremukkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat.

Jika demikian, apakah berita perihal kawin-cerai artis tidak berbahaya ketimbang berita-berita tentang pornografi?

Konsep “baik”

KENYATAAN lain membuktikan bahwa produk hukum yang melarang pornografi justru sering kali membatasi ekspresi wanita, misalnya dalam berpenampilan atau berpakaian. Bahkan, pelarangan tersebut juga kerap membatasi ekspresi seni dan sastra.

Produk hukum semacam itu juga yang menyebabkan kepolisian, misalnya dalam kasus ”Ariel Lucu” (Ariel-Luna-Cut), segera menahan subjek-subjek yang disangka berperan dalam suatu berita pornografi. Pasalnya, dari sudut etika komunikasi, berita pornografi “harus” dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual, sehingga akan mendorong perilaku yang merugikan orang lain dan diri si subjek berita itu sendiri. Lebih jauh, penyebaran berita pornografi dikhawatirkan akan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan.

Masalahnya, apakah sesederhana itu? Dalam konteks berita pornografi, baik pihak kepolisian, si subjek berita itu sendiri, dan media massa haruslah menggarisbawahi konsep “baik” melalui sikap netral, dalam rangka menghargai hak dan kemandirian moral sehubungan dengan adanya pihak-pihak yang dirugikan. Hal ini mungkin akan menimbulkan perdebatan, namun melalui cara pikir yang perlokutif, yakni responsif-objektif, kita akan sangat peduli pada efek yang menimpa individu-individu dan juga pihak-pihak yang terlibat dalam kasus pemberitaan suatu berita pornografi, ketimbang kita hanya sekadar menghitung kerugian fisik atau psikologis berdasarkan produk hukum semata. Apalagi, dalam penyebaran semangat hedonisme dewasa ini, khususnya oleh kalangan media massa, pornografi cenderung dikedepankan sebagai kenikmatan dan pengakuan akan kebiasaan seksual yang keluar dari kecenderungan yang wajar. Padahal, demi terjaminnya kesetaraan hidup, khususnya dalam rangka mengatur hubungan aksiologis antaranggota masyarakat, pemberitaan berita pornografi mestinya tidak dipijakkan dari semangat paternalisme semacam itu.

Andaipun dilakukan “penilaian moral” terhadap suatu berita pornografi, hendaknya penilaian tersebut dipijakkan pada penilaian yang bertanggung jawab, yakni mengandaikan asas verifikasi. Artinya, dari sudut forensik bahsa, dalam silogisme premis mior selalu berhubungan dengan fakta. Itu sebabnya, hukum yang melarang pornografi diharapkan memang jangan sampai menjadikan perempuan sebagai korban.

Surabaya, 9 Juli 2010

Tidak ada komentar: