| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Rabu, 07 Juli 2010

Bangsa Kita Bangsa Gosip?

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Belakangan, tayangan gosip di TV sedang digoyang orang. Tujuh rupa alasan dikemukakan, mulai dari yang menganggapnya “bisa menyesatkan umat”, “tidak mendidik”, hingga “bukan kepribadian bangsa”.


Jadi, bolehlah dipertanyakan, ada apa dengan kepekaan kita sebagai masyarakat? Apakah dampak dahsyat mondialisasi begitu memengaruhi nilai-nilai dan sistem kepercayaan kita, sehingga kita senang menggosipkan orang lain? Jawabannya, bisa ya bisa tidak. Yang jelas, gosip sudah menjadi salah satu menu santapan kita sehari-hari. Dalam wacana akademik, gosip acap didefinisikan sebagai seni mengelola kesalahan. Sebagai suatu “seni”, gosip muncul dalam wujud yang amat kita kenal: misalnya, agar tidak dipersalahkan, maka kita pun menyalahkan orang lain dengan bertubi-tubi. Bahkan, menurut Donna Eder (1991), gosip dengan segala pernik-perniknya adalah pembicaraan evaluatif mengenai seseorang yang tidak hadir atau tidak ada.

Tapi, saya kurang sependapat dengan Eder. Pasalnya, jika kita pertalikan dengan fenomena gosip belakangan ini, seseorang yang kita gosipkan justru hadir di depan mata. Bahkan, boleh dipertegas, gosip yang kerap kita lakukan sekarang ini dilandasi oleh unsur mitos, mitologi, dan juga “fantasi” individual. Oleh karena itu, wajar andai tayangan gosip di TV begitu bergelora dan diminati. Padahal, kalau mau dicermati, sebenarnya semangat gosip ini ”hanya” diberangkatkan dari gelegak keingintahuan kita perihal kehidupan pribadi orang lain, yang, dengan begitu, kental dilumuri mitos dan mitologi. Wajar pula andai kemudian kisah-kisah misteri, atau kisah-kisah hantu di layar lebar atau di layar kaca, ikut diwarnai semangat gosip. Jika kelak ada hal-hal ecek-ecek lainnya juga kita gosipkan, misalnya perihal seksualitas dan gaya hidup, nah, itu kian memperkuat keyakinan saya betapa kita memang bangsa “bigos” (biang gosip). Tak heran apabila media massa piawai memanfaatkan “kebigosan” kita menjadi komoditas hiburan, yang ujung-ujungnya bertalian dengan uang.

Persoalannya, apakah gosip dilandasi logika dan akal sehat? Jawabannya, bisa ya dan tidak. Tapi, cobalah perhatikan, dewasa ini mbah dukun pun sudah menjadi agen kapitalis. Lihatlah, bagaimana hebohnya kita ketika melihat kiprah “Mbah Dukun” naik ke pentas hiburan komersial. Semenjak beberapa tahun lalu, misalnya, lagu yang dilantunkan Alam tentang keluhannya kepada Mbah Dukun bahkan sempat membahana di pelosok-pelosok negeri ini. Semua orang tersihir oleh kehadiran si “Mbah Dukun”. Bahkan, anak-anak ketika itu tak putusnya merengek minta dibelikan lagu itu ketimbang lagu “Balonku” atau “Lihat Kebunku”. Cobalah, iseng-iseng tanyakanlah kepada anak-anak itu ketika itu, “Cik Cik Periook” itu lagu dari daerah mana. Belum tentu anak-anak itu paham. Tapi, cobalah tanyakan, siapa Alam. Nah, pasti anak-anak itu ketika itu akan berteriak mengguntur, “Ada mbah dukun lagi ngobatin pasiennya.”

Alhasil, mbah dukun juga menjadi bagian inheren dari komoditas iklan hiburan. Dalam era bisnis dewasa ini, demi memenangi persaingan pasar yang makin keras, produsen memang mesti berlomba mencari terobosan baru dalam beriklan. Terobosan ini, di antaranya, dilakukan dengan mengangkat kiprah mbah dukun ke panggung hiburan. Siapa pun paham, dunia supernatural yang bertalian dengan kiprah pawang, dukun, dan “orang pintar” bukan sesuatu yang baru dalam sistem kepercayaan kita. Siapa pun juga mafhum, kisah-kisah misteri amat mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Sejumlah aktivitas yang tujuannya melebur (atau berdamai?) dengan dunia misteri, seperti upacara sesajen atau membakar dupa dan kemenyan, juga bukan hal yang asing bagi kita. Kenyataan ini, tentu saja amat bermanfaat bagi media massa dalam aktivitas promosinya. Jadi, itulah sebabnya, mengapa kita bisa merespons kehadiran mbah dukun di pentas hiburan komersial. Sehingga, tak heran, meledaklah gosip di seputar dunia media massa.

Perihal aktivitas promosi yang dilakukan media massa, sebaiknya dipahami dengan bijak, agar irasionalitas kita (sebagai masyarakat urban-kosmopolit) tidak dipermainkan oleh daya sihir iklan. Lagi pula, terus terang, media massa memang amat piawai memanfaatkan irasionalitas pembacanya demi meraup uang. Kepiawaian ini, tentu saja, berkaitan dengan nilai-nilai kapitalistik yang terkandung dalam media massa. Sebagaimana diketahui, mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan roh kapitalisme. Artinya, ketersediaan modal bukanlah demi sekadar melayani kebutuhan-kebutuhan tertentu, melainkan untuk menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, wajarlah bila pemilik modal – demi mempercepat perputaran modalnya – dengan segala daya upaya merekayasa budaya hiburan melalui media massa. Maka, berlomba-lombalah tayangan-tayangan misteri dan gosip itu. Atau, andai mau yang lebih spektakuler, barangkali Anda masih ingat sejumlah film layar lebar yang mempertontonkan hal yang secara umum tidak logis: kuntilanak datang bulan, hantu jamu gendong, atau lainnya, yang pada dasarnya hanya mengemas gosip perihal seksualitas dan misteri.

Apa boleh buat, kalau sudah telanjur dikategorikan sebagai “bigos”, hendaknya irasionalitas kita tidak melenggang begitu saja ke dunia fantasi yang sempit dan individual. Sehingga, kita tidak menjadi hantu bagi orang lain.


Simbol virtuoso

Pada dasarnya, media massa ibarat virtuoso (penyanyi paling mahir) di tengah orkes simponi kapitalisme dewasa ini. Setuju atau tidak, berkat simbol virtuoso ini media massa terkesan tampil sebagai wahana kalangan corporate marketing dalam merekayasa pembaca atau pemirsanya.

Apa yang direkayasa? Sudah menjadi semacam konvensi dalam jagat kapitalisme bahwa aktivitas pemasaran mesti mampu membangun budaya konsumerisme. Tapi, konsumsi bukan lagi dimaknai sebagai sekadar kebendaan, melainkan dianggap lebih sebagai arena kehidupan yang dipenuhi kompetisi makna-makna sosial. Dengan begitu, kalangan produsen saling berlomba merekayasa budaya konsumerisme itu menjadi wadah pembentukan kepribadian, status sosial, dan bahkan budaya hiburan. Dampaknya, muncullah kesadaran palsu (di dalam diri konsumen) alias kesadaran terhadap sesuatu yang seolah-olah itulah makna hidup sejati. Dalam konteks inilah, meminjam pendapat Curran (1982), peran media massa ditengarai amat besar dalam melegitimasi kesadaran palsu tersebut. Alhasil, ibarat virtuoso, media massa mendendangkan lagu tentang “indahnya hidup” melalui jenis-jenis tayangan hiburan, termasuk menayangkan sosok-sosok hantu nan seronok.

Nah, andai begitu, apa daya kita? Mungkin kita bisa memercayai ucapan Fiske (1987) bahwa gaya hidup masyarakat kita dewasa ini berkesan mengalami perubahan drastis, sejalan dengan berita-berita gosip (dengan segala variannya) yang kerap ditayangkan TV. Artinya, akibat “didendangkan” terus-menerus oleh TV, tayangan gosip juga kental mewarnai ruang-ruang pribadi dan kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, wajarlah jika tayangan cerita-cerita hantu atau kisah-kisah perselingkuhan, misalnya, berhasil menggapai rating tinggi. Namun, menurut saya, suka tak suka, terutama kisah-kisah hantu sebenarnya tidaklah “berbahaya” sebagaimana kerap dianggap orang. Pasalnya, di tengah impitan kehidupan sosial-perekonomian yang belakangan ini amat berat (kasus bom, kasus kriminalitas, kasus naik-turunnya harga kebutuhan pokok, dan seterusnya) kita amat membutuhkan semacam kanal pelepas. Ke mana lagi kanal hendak dicari, sementara di depan mata ada wajah-wajah hantu seronok bergentayangan?

Dengan demikian, tak perlu pula kita bergosip siang-malam mengenai makna “bisa menyesatkan umat”, “tidak mendidik”, atau “bukan kepribadian bangsa”. Pasalnya, makna kepribadian bangsa, misalnya, adalah sifat dan watak yang menonjol pada bagian besar suatu bangsa (disebut pula kepribadian nasional). Nah, kalau akhir-akhir ini bangsa kita ditengarai berkesan masih gemar korupsi, senang berkelahi, atau gemar mengatasnamakan penderitaan rakyat, apakah ini berarti bangsa kita dapat diketagorikan sebagai bangsa gosip?


Hantu Bergelimang Uang

Dikemas dalam semangat membuat jantung pemirsanya copot, kisah misteri sebenarnya sudah lama kita akrabi melalui sejumlah variannya, seperti hantu penunggu jembatan Ancol, suster ngesot, hantu pocong, atau pastor tanpa kepala. Melalui tayangan TV, kisah-kisah itu pernah kita nikmati dengan nama rubrik yang bervariasi, dari “Kisah Misteri”, “New Misteri”, “Dunia Lain”, sampai yang nyleneh seperti “O Seram”.

Tak perlu pula digosipkan tingkat probabilitas cerita ini. Yang jelas, makin seram cerita itu makin digemari orang dan makin tebal pula kocek “hantu-hantu” seronok pemerannya. Bahkan, anak-anak juga menyukainya seperti mereka menyukai film Scoobydoo atau Harry Potter. Dalam konteks ini, mungkin kita juga bisa memaklumi mengapa film Jailangkung atau Peti Mati tempo hari meledak ketika diputar di bioskop. Tak mengherankan pula, jika pamor para pawang, dukun, dan paranormal makin cemerlang di jagat hiburan komersial. Juga tidak mengherankan jika kisah-kisah perselingkuhan, atau gosip para artis, ikut-ikutan digemari orang.

Lagi pula, sebagai “fakta” yang menjadi “kepercayaan” masyarakat, sah-sah saja jika kisah seram lantas dijadikan bahan baku komoditas hiburan. Apalagi, di dalam semangat kapitalisme sudah lama bergaung adagium, “apa pun boleh dijadikan komoditas, asalkan bisa menebalkan isi kocek”. Implikasinya, menurut Giddens (1986), terlihat nyata dalam pentingnya arti uang dalam pola-pola hubungan antarmanusia. Tapi, uniknya, melalui semangat “pendewaan” uang itu heterogenitas yang menjadi sifat hakiki hubungan antarmanusia bisa dibandingkan dan kemudian disalingtukarkan. Oleh karena itu, menurut saya, wajarlah bila kisah-kisah misteri (yang berasal dari mana-mana alias heterogen) bisa “dipadukan” melalui warna-warni unsur imajinasi, nostalgia, dan tegangan (misalnya, dengan visualisasi kuburan tua, suasana angker, kabut tipis, dan lolongan serigala). Sehingga, sekalipun kisah itu fiktif (adakah lolongan serigala di kuburan kita?), tetap saja kita berdebar-debar ketakutan. Atau, sekalipun tidak pernah tahu di mana persisnya letak jembatan Ancol, misalnya, kita bisa berimajinasi ketika menyaksikan cerita si Manis di TV. Ditambah anasir nostalgia (pengalaman ketakutan), si Manis pun hidup di benak kita. Maka, kita pun segera menyembunyikan wajah ke balik bantal.

Beranjak dari hal di atas, sebenarnya kita pun mesti menyadari adanya semacam proses pewarisan nilai-nilai budaya. Wujudnya, di antaranya, berupa pewarisan “kepercayaan” terhadap tempat-tempat angker berpenghuni hantu, arwah penasaran, jin perewangan, atau genderuwo. Melalui semangat kapitalis, pewarisan ini kemudian dieksploitasi sebagai komoditas hiburan. Menerima hiburan ini, maka kaum urban-kosmopolit pun (semacam kita-kita ini) menikmatinya dengan lahap. Pasalnya, kita-kita ini adalah manusia-manusia marginal yang rindu kampung dan rindu masa lalu. Sehingga, bentuk hiburan yang sekalipun membuat jantung copot bisa kita kunyah hanya sebagai pelipur lara pengobat rindu.

Namun, lepas dari masalah pengobat rindu itu, saya tetap ingin bertanya, ada apa dengan kepekaan kita sebagai masyarakat? Begitu banyak masalah kebangsaan yang masih butuh komitmen, kok lebih memilih gosip ecek-ecek?

Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang.
Pasarminggu, 6 Juli 2010

Tidak ada komentar: