| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Selasa, 15 Juni 2010

Memberitakan Jakarta secara Dekonstruktif


Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Masihkah Jakarta memiliki daya tarik? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada mereka yang “berminat” atau “terpaksa” terjun ke sektor nonformal, jawabannya tentu ya, karena apa pun bisa dijadikan uang di Jakarta: mulai dari mengemis, menjadi timer di terminal, sampai menggelar dagangan di trotoar atau jembatan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang “merasa” sukses di Jakarta?

Dalam perspektif kaum strukturalisme-empirik, jelas sekali Jakarta dipersepsikan berdasarkan oposisi biner (binary opposition) tentang adanya ibu kota (kota besar) dan daerah (kota kecil), yang oleh karena itu melahirkan “orang kota” dan “wong ndeso”. Dalam konteks ini, posisi “orang kota” selalu dimenangkan, dijadikan teladan, dipuja, dan bahkan diberhalakan. Merantau ke Jakarta, misalnya, adalah keharusan dan kewajiban, karena menjadi komunitas “orang kota” identik dengan kejayaan, kekayaan, dan kesejahteraan. Itu sebabnya, Tukul Arwana senantiasa menganggung-agungkan kekotaannya dan menyebut “wong ndeso” sebagai katrok yang payah dan perlu ditertawakan. Itu pula sebabnya, orang berlomba-lomba mengikuti pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta, atau berlomba-lomba mendukung calon gubernurnya, sebab menjadi gubernur Jakarta selaras dan sebangun dengan menggenggam Indonesia.

Dari kacamata dekonstruksi, persepsi tentang oposisi biner itu ternyata mengandung kesesatan epistemologi, atau kesesatan pengetahuan, yang tidak dapat dianggap sebagai perkara sepele, sebab hidup di Jakarta dan juga mengurus Jakarta bukan sekadar dalam rangka mengumpulkan uang agar dapat “penghargaan” di desa. Dalam ungkapan lain, modernitas Jakarta tidak identik dengan sekadar bagaimana kepentingan individu memenangi kepentingan rakyat.

Warna dominan
Kesesatan epistemologi agaknya menjadi warna dominan dalam kehidupan orang Jakarta. Dalam wujudnya yang beraneka ragam, kesesatan pengetahuan itu terjadi secara terstruktur dan barangkali tidak disadari.

Melalui pemberitaan media massa, umpamanya, berulang-ulang kita disuguhi informasi mengenai makin banyaknya kaum marginal dan penghuni jalanan yang “berkeliaran” di Jakarta, seperti para pengemis yang beroperasi di perempatan jalan, para timer yang berlagak pemilik terminal angkutan umum, para sopir angkutan kota yang perilakunya mirip bandit dalam film koboi, atau para pedagang kaki lima yang mendominasi jalanan umum. Hal ini belum ditambah dengan informasi tentang mereka yang tampaknya intelek, namun perilakunya juga mirip dengan para bandit di film koboi itu, seperti para kepala sekolah yang seenak perutnya memunguti uang pembangunan dan uang buku, para birokrat yang gemar mengutil uang pelicin, baik dalam hal pelayanan masyarakat maupun dalam hal penerimaan pegawai baru, para dosen yang senang mencuri makalah mahasiswanya untuk kepentingan kenaikan pangkatnya, atau para pembimbing skripsi mahasiswa yang sudah “tidak sempat” membaca buku, sehingga selalu “menjerumuskan” bimbingannya ke dalam pola pikir stagnan yang itu-itu saja. Eksistensi mereka ini, oleh para kaki tangan Gubernur DKI Jakarta anehnya hanya dilirik sebatas oposisi biner, yakni menganggap sebagai sampah masyarakat di satu pihak, tetapi di pihak lain “tidak perlu ditertibkan” sepanjang menguntungkan kepentingan tertentu. Dalam ungkapan lain, para kaki tangan Gubernur DKI Jakarta itu belum mampu berpikir secara dekonstruktif, yakni tidak menganggap para sampah masyarakat itu sekadar sebagai sampah, mengingat keberadaan mereka itu adalah juga dampak dari keberadaan para kaki tangan tersebut di Jakarta.

Dalam tataran yang lebih tinggi, pangkal pandangan yang oposisi biner dan yang kemudian mencuatkan kesesatan epistemologi itu juga terlihat pada “prosesi” menjelang pilkada Jakarta. Dalam kampanye cagub, contohnya, poster atau spanduk besar berisikan ungkapan “mari kita benahi Jakarta dengan memilih si Mamat”, “malas macet ayo pilih si Pulan”, “mau sekolah murah ayo pilih si Waru”, atau “ingin sehat pilihlah si Dadap”, mengandaikan rakyat Jakarta adalah kerbau-kerbau yang jika dicocok hidungnya mau segera berperan serta membenahi Jakarta atau dapat dengan mudah menikmati murahnya biaya pendidikan. Lebih unik lagi, kesesatan epistemologi ini cenderung dilihat dari kacamata kepentingan politik semata-mata dan bukan dari semangat dekonstruksi. Alhasil, para cagub itu cuma memerhatikan kepentingan individunya belaka, sehingga tindak kampanye mereka berputar-putar pada masalah yang juga “individual”, seperti mengunjungi rakyat miskin, mengumandangkan pengobatan gratis, “menenteramkan” mahasiswa dengan cara ke luar-masuk kampus, atau “mengambil hati” para ulama dengan mendatangi pesantren. Ibarat menembak nyamuk dengan meriam, itulah mungkin ungkapan yang pas untuk mendeskripsikan dampak kesesatan epistemologi yang menimpa orang Jakarta. Dengan demikian, wajarlah jika rakyat Jakarta bersikap pesimistik terhadap para cagub, sebagaimana pernah diungkapkan Kompas (16/7) dalam jajak pendapatnya.

Kesesatan epistemologi yang menjangkiti kita agaknya sulit dijabarkan melalui pendekatan politik atau ekonomi semata-mata. Pasalnya, ia adalah habitus kita yang berpijak dari proses pembentukan “kacamata” di ruang kepala kita yang didasarkan atas persepsi individual kita. “Kacamata” ini selalu terbentuk mendahului pengalaman yang kita alami. Alhasil, kehidupan kita sehari-hari kita tidak pernah lepas dari belenggu kesesatan epistemologi yang terstruktur.

Refleksi yang cermat
Masihkah Jakarta memiliki daya tarik? Jika media massa berulang-ulang memberitakan ulah para penghuni jalanan Jakarta, perilaku para intelek Jakarta yang mirip bandit dalam film koboi, atau berulang-ulang menayangkan dan membahas “kisah” video porno yang dibintangi mirip Luna-Ariel-Tari, agaknya patut kita “curigai” sebab media massa adalah virtuoso (penyanyi paling menonjol) di tengah simponi kehidupan Jakarta. Padahal, secara etis media massa (selaras fungsinya) seharusnya memberikan pendidikan berbangsa dan bernegara kepada khalayak pembacanya (melalui pemberitaannya) untuk dapat direfleksikan secara cermat. Alhasil, memberitakan Jakarta bagi wartawan haruslah dalam laras etika itu. Ketika sekolah-sekolah di Jakarta tidak lagi mengajarkan pelajaran Budi Pekerti, tidak berarti pelajaran itu tidak boleh diambil alih oleh media massa.  

Masalahnya, akibat sumpeknya hidup di Jakarta, orang tampaknya lebih tertarik menelan gosip perihal kehidupan selebritas dan juga banyolan-banyolan politik yang kerap dimainkan oleh para ”selebritas politik” Jakarta. Oleh karena itu, masalahnya apakah kita (sebagai warga Jakarta) mau berpikir secara kritis-dekontrukstif?
Slipi, Juni 2010

Tidak ada komentar: