| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Rabu, 06 April 2011

Plagiarisme Global?

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Tulisan Alois A Nugroho perihal skandal plagiarisme global (Kompas, 12/03/11) memang mengundang keprihatinan, khususnya bagi insan akademik Indonesia yang serius, jujur, dan “berdarah-darah” dalam menempuh studi doktoralnya.


Plagiarisme yang mengurapi disertasi Menhan Jerman Guttenberg dan disertasi putera Khadafy Saif al-Islam di Inggris, agaknya cukup membawa keyakinan Nugroho bahwa plagiarisme ternyata tidak hanya terjadi di negara dengan tradisi akademik yang belum kukuh, tetapi kini juga melanda Jerman dan Inggrs.

Akan tetapi, setidaknya kita memang perlu berhati-hati dalam membincangkan plagiarisme, mengingat kasus plagiarisme di Indonesia muncul dalam wajah yang kontekstual.

Pertama, kita kerap tidak memahami bahwa ilmu tidak seta-merta jatuh dari langit. Padahal, kehadiran sebuah teori, misalnya, selalu diiringi oleh anasir-anasir ontologi, epistemologi, dan aksiologinya. Itu sebabnya, tidak sedikit dosen S-3 kita yang memberikan ilmunya hanya melalui “metode pencekokan”. Mahasiswa hanya diperintah membaca buku teks (lalu diwajibkan menulis laporan bacaan dan sedikit diskusi), tanpa sang dosen itu menguraikan “kata kunci” (segi-segi episteme) teori tersebut. Alhasil, banyak mahasiswa S-3 kita yang kesulitan dalam menangkap hakikat teori yang dibacanya, sehingga ketika mengutip ia kesulitan mengungkapkan dalam kalimatnya sendiri. Dampaknya, dengan serta-merta si mahasiswa S-3 itu mengutip secara mentah, sesuai dengan teks aslinya, walaupun ia menyebutkan sumbernya. Hal ini disebut plagiarisme yang tidak disengaja.

Kedua, kita juga kerap tidak memahami bahwa plagiarisme pada hakikatnya akan menggemboskan semangat berinovasi dalam kerja ilmiah. Oleh karena itu, jika ada mahasiswa S-3 kita yang mengakui karya kelompok sebagai karya pribadi (misalnya melalui pemanfaatan ghost writer), apalagi data di dalam karya tersebut merupakan data yang dipalsukan (fabrication) atau data yang dimanipulasikan (falsification), terang bagi kita ia melakukan plagiarisme yang disengaja. Praktik “jalan pintas” semacam ini jelas-jelas akan memerosotkan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan.

@@@

Dari hal di atas, kiranya kita boleh memercayai pendapat Wittgenstein (1979) bahwa sebuah proposisi akan dikatakan negatif jika bendanya tidak muncul. Ricoeur ketika memberi catatan tentang pemikiran Heidegger (1981) juga mengatakan hal yang mirip bahwa suatu objek dianggap ”mengada” bila objek itu hadir.

Artinya, ”kata kunci” suatu teori dalam buku teks akan ”muncul” atau ”mengada” bila dihadirkan oleh dosennya. Dengan begitu, kekritisan mahasiswanya akan terpicu melalui banyak-banyak membaca dan banyak-banyak membandingkannya dengan bacaan terkait, sehingga ia mampu membuat konstruksi teori tersebut melalui kalimatnya sendiri. Sebaliknya, jika si mahasiswa terkategori orang supersibuk, sehingga lebih memercayai sepasukan ghost writer, boleh ditegaskan ia hanya akan menemukan ”kata kunci” yang negatif, sebagaimana dikatakan Wittgenstein tadi, walaupun ia diberi kecerdasan luar biasa. Hal ini, dapat kita buktikan apakah karya-karya tulis akademiknya kelak akan ”mengada” setelah ia menyandang gelar S-3.

Perlu dikemukakan, plagiarisme ternyata ditemukan pula di AS. Penelitian National Academy of Science pada 1995, misalnya, di antaranya menyebutkan bahwa 1,4% dari 3247 ilmuwan AS melakukan pencurian ide orang lain. Artinya, plagiarisme tidak dapat dikesankan seolah hanya terjadi di negara yang tradisi akademiknya belum kukuh, dan kemudian kita terkaget-kaget ketika melihat di negara maju juga terjadi plagiarisme.

Oleh karena itu, sebaiknya diri kita sendirilah yang mulai menyadari bahwa belum tentu orang yang bergelar S-3 otomatis akan naik gengsi, terutama jika menjadi pejabat pemerintah. Yang penting adalah karya-karya tulis akademiknya.

Pasarminggu, 5 April 2011

Tidak ada komentar: