| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Rabu, 26 Mei 2010

PERLU-TIDAKNYA SENSOR

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Cikal-bakal lembaga sensor ditengarai berawal sejak zaman kekaisaran Romawi, khususnya ketika Julius Caesar (102-44 SM) menjabat konsul pada 60 SM. Pada saat itu, Caesar memerintahkan para anggota senat kekaisaran untuk menerbitkan acta diurna, lembaran kertas mirip brosur, berisikan informasi mengenai aktivitas senat sehari-hari yang harus ditempelkan di forum Romanum alias Pusat Kota Roma. Anggota senat yang tidak menulis sesuai dengan perintah Caesar, sudah pasti kena cekal.

Caesar, mungkin, tidak pernah membayangkan bahwa idenya tentang lembaga sensor itu berabad-abad kemudian dijadikan “aksesori” sejumlah negara dalam mempertahankan kekuasaannya. Dikatakan aksesoris, karena tanpa lembaga sensor sebuah negara menganggap dirinya kurang lengkap. Sejumlah teori pengetahuan yang empiris-strukturalisme dengan fasih bahkan mampu menjelaskan bahwa keberadaan lembaga sensor itu mutlak, karena menganggap pemerintah adalah pemegang kendali utama keselamatan bangsa dan negara. Dalam dunia perfilman, misalnya, harus ada Lembaga Sensor Film yang menyensor adegan cabul, sadis, vulgar, dan kebablasan. Semua ini, konon demi menangkal masuknya pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia.

Akan tetapi, semua ihwal sensor itu tidak pernah dijelaskan dalam “bahasa rakyat”, kecuali penekanan yang perlokutif bahwa penyensoran oleh pemerintah tidak melanggar konstitusi. Apa hubungan antara makna “adegan cabul” misalnya yang harus disensor dan pelanggaran konstitusi, jika sehari-hari kita dengan mudah menemukan para penjual VCD porno di kaki lima. Apa pula makna pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia, sementara itu kita membiarkan sejumlah produk budaya kita dicuri oleh Malaysia. Orang yang mengaku rasional, mungkin selama ini hanya berpikir secara koherensi bahwa lembaga sensor merupakan lembaga “gunting film” yang konsisten dalam melakukan tugasnya. Padahal, sebagaimana telah disinggung, koherensi dan konsistensi tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan kenyataan di luaran. Sebanyak film yang sudah disensor, sebanyak itu pula pengaruh negatif pada tata nilai dan budaya Indonesia tetap merasuk. Artinya, lembaga sensor hendaknya mulai berpikir bahwa amat sulit menjadi “pengaman” tata nilai dan budaya Indonesia, mengingat tata nilai dan budaya adalah sebuah proses dialektika antarindividu dan hubungan individu dengan masyarakatnya.

Kalangan perfilman mungkin sedih dengan pendapat pemerintah dan DPR bahwa keberadaan Lembaga Sensor Film tetap diperlukan (Kompas, 11/01/08). Dalam konteks ini, saya justru yang sedih terhadap pemerintah dan DPR. Pasalnya, apa pun yang mereka katakan tentang keberadaan Lembaga Sensor Film, rakyatlah yang tetap menjadi korban. Bayangkan, hak rakyat untuk tahu dicabut begitu saja oleh aktivitas sensor. Rakyat juga tidak bebas memilih tontonan yang disukainya, karena rata-rata bioskop dan televisi kita menayangkan film yang bernada seragam alias itu-itu saja.

Dari hal di atas, menjadi jelas bahwa paradigma yang empiris-strukturalisme dewasa ini dalam memandang keberadaan lembaga sensor mesti diubah menjadi paradigma kritis. Dalam perspektif epistemologi, teori pengetahuan yang bersifat kritis menggarisbawahi bahwa manusia bersifat unik dan oleh karena itu kehidupannya amat kontekstual. Implikasinya, sebagaimana ditegaskan oleh Wittgenstein (1983), di dalam kehidupan ini banyak sekali tata permainan bahasa yang menjadi bukti bahwa hidup memang plural.


Paradigma kritis

Keberadaan lembaga sensor, termasuk Lembaga Sensor Film, dewasa ini memang haruslah tetap dipertanyakan secara kritis. Implikasinya, pemerintah dan DPR juga harus mampu menerimanya secara kritis.

Dari sisi historis, bangsa Indonesia telah mengenal lembaga sensor yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda (1856) melalui peraturan Drukpres-reglement. Aturan ini menegaskan bahwa surat kabar harus menyerahkan satu eksemplar cetakannya kepada pemerintah setempat sebelum diedarkan. Andai isi surat kabar itu dianggap melanggar ketentuan, percetakannya disegel dan pengelola surat kabar itu dipenjara. Pada zaman Jepang, melalui UU No.16/1943 Pemerintah Jepang dengan keras menyensor semua barang cetakan yang hendak diedarkan. Tidak heran jika sastrawan Indonesia pada saat itu gemar menggunakan teknik simbolisme dalam karya-karyanya agar bisa lolos dari sensor Jepang. Mungkin, pemahaman kita selama ini mengatakan bahwa pada masa itu sensor yang dilakukan lebih dilandaskan pada nilai-nilai kolonialisme dan imperialisme. Akan tetapi, dalam perspektif filsafat bahasa, antara penjajah dan yang dijajah memang tidak pernah terjalin komunikasi yang aksiologis, sehingga tidak mungkin pula diharapkan akan muncul kesadaran bahwa pihak yang menjajah pada hakikatnya harus bertanggung jawab pada yang terjajah. Alhasil, baik Pemerintah Hindia Belanda mupun Pemerintah Balatentara Jepang kala itu lebih senang membuat lembaga sensor yang otomatis mencabut hak rakyat untuk tahu dan sekaligus memperbodoh rakyat. Bayangkan, generasi macam apa yang dilahirkan oleh bangsa yang diperbodoh oleh bangsa lain yang merasa dirinya pintar.

Dengan demikian, jika aspek kekuasaan masih ingin dipertalikan dengan keberadaan lembaga sensor, paradigma kritislah yang sebaiknya kita gunakan. Pasalnya, kekuasaan tidak lagi sekadar penyatuan yang dipaksakan oleh pemerintah. Tekanan pada hubungan antara kekuasaan dan subjek mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar. Oleh karena itu, hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan yang ada dalam proses hubungan seksual, ekonomi, politik, budaya, dan penyebaran pengetahuan. Atau menurut Haryatmoko (2003), kekuasaan adalah akibat langsung dari pemisahan. Ia lahir ketika ada ketidaksamaan atau ketidakseimbangan yang lantas memicu diskriminasi. Dalam kaitan inilah, hemat saya keberadaan lembaga sensor (apa pun itu namanya) tidak harus menjadi monopoli pemerintah. Lembaga sensor harus tetap eksis, namun agar aspek kekuasaannya tetap menonjol keberadaannya harus tersebar pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kompetensi untuk hal itu. Aspek kekuasaan yang menonjol itu justru menjadikan kelompok-kelompok masyarakat itu secara otomatis dapat menjaga tata nilai dan budaya Indonesia sebagaimana diharapkan.

Caesar, mungkin, tidak pernah membayangkan bahwa idenya tentang lembaga sensor berabad-abad kemudian dijadikan “aksesori” oleh sejumlah negara dalam mempertahankan kekuasaannya. Akan tetapi, kita pun harus buru-buru “menyensor diri” bahwa keberadaan lembaga sensor dewasa ini tidak hanya bertalian dengan konstitusi.

Pasarminggu, 2010


Tidak ada komentar: