| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Senin, 24 Mei 2010

Luna Maya dan Efek Perlokutif Media Massa


Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Di tengah-tengah memberi materi pelatihan penulisan artikel ilmiah untuk dosen se-Jateng, Mei 2010, tiba-tiba saya teringat pada kasus yang menimpa artis Luna Maya pada awal 2010. Kasus ini  agaknya bisa membuktikan bahwa persoalan kehidupan berbangsa kita sesungguhnya terletak pada  ketakberdayaan kita dalam berbahasa (dibaca: bukan sekadar ketakberdayaan dalam komunikasi).

DALAM konteks kehidupan dewasa ini, berbahasa hendaknya dimaknai sebagai segala daya-upaya kita dalam memaknai realitas. Berbahasa, dengan demikian, tidak lagi dapat dikaitkan secara serta-merta dengan masalah teknis linguistik belaka. Oleh karena itu, ketika kesal menghadapi serbuan pekerja infotaimen, mungkin kita dapat memahami mengapa Luna Maya (Lunmay) berkomentar seperti ini di akun Twitternya: ”wartawan lebih hina daripada pelacur”.

Komentar Lunmay dalam konteks kasusnya itu mengundang pertanyaan kritis saya: apakah pekerja infotaimen dapat dikategorikan sebagai wartawan, mengingat adanya tuntutan ketat yang tak terbantahkan di balik profesi wartawan (Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, 2009)? Namun, dari sudut perspektif kritis, ungkapan bahasa Lunmay sejatinya membuktikan bahwa bahasa memang tercipta sebagai sebuah tata permainan yang memiliki aturan-aturan tersendiri karena terkonteks dengan masyarakat penggunanya. Dalam hubungan ini, Wittgenstein (1983) telah mengingatkan bahwa di dalam kehidupan banyak sekali tata permainan bahasa (language-games), yang secara otomatis mengindikasikan bahwa apa yang disebut kontekstual dalam berbahasa adalah bagaimana suatu “lapangan bermain“ (dibaca: suatu masyarakat lengkap bersama nilai-nilai kehidupannya) ketika memengaruhi ungkapan bahasa seseorang. Itu sebabnya, dapat ditegaskan bahwa ungkapan bahasa Lunmay merupakan cerminan suatu tata permainan bahasa.

Ketika tata permainan bahasa Lunmay bentrok dengan suatu tata permainan bahasa lainnya, sebenarnya yang kita saksikan adalah praktik monolitik bahasa, yakni tarik-menarik kekuasaan di antara kedua belah pihak yang bentrok itu dalam rangka memenangkan wacana. Persoalannya, di antara kedua belah pihak yang tengah bentrok semacam itu cenderung abai terhadap kenyataan bahwa suatu tata permainan bahasa pada hakikatnya adalah cerminan nilai-nilai hidup penggunanya.

Bahasa dan hiburan

UNGKAPAN “cicak dan buaya”, misalnya, dalam konteks tata permainan bahasa Indonesia mungkin tidak bernilai apa-apa. Ungkapan ini agaknya setara dengan ungkapan “kampret dan kalong”. Tapi, ketika “cicak dan buaya” dikategorikan oleh masyarakat penggunanya ke dalam nilai-nilai kehidupan tertentu yang disesuaikan dengan latar belakang budaya tertentu, ungkapan itu segera memiliki daya perlokutif yang amat tinggi.

Daya perlokutif itu kemudian didongkrak oleh media massa, sehingga tempo hari tentu kita amat menikmati hiburan mengenai kisah si Cicak dan si Buaya, yang kemudian membawa si penutur asalnya (dibaca: Susno D.) ke penjara. Apalagi, disadari atau tidak, media massa kita dewasa ini cenderung mengedepankan fungsi hiburannya ketimbang fungsi lainnya. Ditambah kenyataan bahwa media massa adalah “lengan kanan” industri kapitalisme global paruh abad ke-20, fungsi hiburan tersebut berkesan makin tersistem dan tersetruktur. Apalagi, jarang di antara kita yang menyadari bahwa bahasa Indonesia yang disampaikan oleh pers Indonesia hanyalah salah satu tata permainan bahasa di antara banyak sekali tata permainan bahasa di Indonesia. Implikasi dari hal ini, tidak ada yang dapat menjamin bahwa sesuatu yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia dapat dimaknai secara tepat oleh orang Indonesia sendiri. Sebagai contoh, cobalah renungi mengapa Pansus Hak Angket Bank Century tempo hari mengimbau agar semua penyelenggara negara yang terlibat kasus Bank Century harus menonaktifkan diri? (catatan: kemudian, kita juga ribut sendiri ketika Mbak Ani “hijrah” ke AS). Contoh lain, cobalah renungi apakah makna ungkapan “terorisme internasional” (yang sering didengung-dengungkan AS)? Oleh media massa Indonesia, ungkapan ini cenderung dimaknai sebagai para perakit bom yang kebetulan beragama Islam. Gambaran ini memang sesuai dengan kenyataannya, namun efek perlokutif yang muncul adalah timbulnya kesan bahwa terorisme identik dengan Islam.

Oleh karena itu, yang mestinya dipertanyakan secara kritis adalah apakah makna “terorisme internasional” itu sendiri, mengingat di Indonesia ungkapan “teroris”, “internasional”, dan “islam” merupakan tata pemainan bahasa yang masing-masing memiliki aturan dan nilainya sendiri. Andai ada makna universalnya, atau makna leksikalnya, tidak berarti ungkapan “islam” dan “terorisme” di Indonesia dan di AS harus kita samakan maknanya.

Implikasi dari hal di atas, bentrok antara Lunmay dan pekerja infotaimen (dan juga bentrok lainnya yang melibatkan peran media massa) harus dilihat melalui kacamata kritis, alias tidak sekadar kita jadikan hiburan, mengingat pertaliannya dengan suatu tata permainan bahasa dan nilai-nilai kehidupan kita sendiri. Mengapa Lunmay sampai menyemprotkan ungkapan bahasa yang dinilai pekerja infotaimen itu sebagai ungkapan yang melecehkan? Boleh jadi, kalau ada api tentu ada asap. Tapi, andai hendak mengedepankan aspek hiburan, mungkin kita dapat belajar dari Horace ketika menegaskan bahwa fungsi karya sastra adalah dulce et utile (menghibur karena berguna). Dalam membangun efek perlokutifnya, karya sastra selalu berupaya membuat individu pembacanya mengosongkan batin (refleksi diri), karena kandungan nilai-nilai kemanusiaannya. Melalui fungsi dulce et utile, kita akan bisa menghargai nilai-nilai, kepercayaan, dan ideologi yang berbeda-beda. Dengan demikian, kita akan selalu melahirkan semacam vision du monde (pandangan dunia) yang diperbaharui terus-menerus dalam kerangka kehidupan berbangsa.

Huxley dan Moere

HUXLEY adalah linguis Amerika Serikat yang pada 1962 pernah berujar, “Manusia tanpa bahasa tak ubahnya monyet”. Andai tak memahami maknanya, ia pasti sudah kita anggap melakukan pelecehan.
Bagi Huxley, manusia bersifat unik terutama berkat kemampuannya menciptakan simbol-simbol bunyi yang kita kenal sebagai bahasa. Dengan kemampuannya itu, manusia menjadi makhluk multidimensi karena dapat meleburkan dan menyatakan diri ke dalam masa lalu, masa kini, dan masa depannya secara simultan.

Tapi, dewasa ini ucapan Huxley haruslah dicermati secara kritis, mengingat pada hakikatnya eksistensi manusia ternyata lebih terletak pada kemampuannya sebagai “pencipta” nilai-nilai kehidupan yang berbeda-beda melalui tata permainan bahasanya masing-masing. Melalui hal ini, kasus Lunmay, dan juga kasus serupa yang terjadi, agak sulit kita pandang hanya dari segi perebutan wacana.

Dengan demikian, kita juga tidak perlu percaya terhadap kajian Moere (1978) tentang feminisme di Amerika Serikat bahwa “cengkeraman” pria atas wanita memang selalu kuat. Pasalnya, lihatlah “sepak terjang” Lunmay ketika “memberontak” terhadap “kerubutan” pekerja infotaimen.  

Saphir Hotel, Yogya, 20 Mei 2010

Tidak ada komentar: