| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Senin, 17 Mei 2010

VOLKGEIST DAN KORUPTORGEIST

Oleh Dr. Wahyu Wibowo


KITA tidak pernah tahu apa yang merasuki Hegel (1770-1831) ketika berpendapat bahwa Roh “hanya” berjalan dari Timur ke Barat. Namun, dampak dari pendapat itu, pada sekitar abad ke-19 seorang Prusia bernama Otto von Bismarck tampak kerasukan ketika memerintahkan pasukannya menyerang Denmark.

MEMANG bukan hanya Denmark yang dilibas Bismarck. Sejarah mencatat, perang antara Jerman melawan Prancis yang marak pada 1870 juga gara-gara ulah Bismarck. Cuma, yang perlu dipertanyakan, mengapa Denmark terlebih dahulu yang diserang? Padahal, kita tentu tahu kala itu yang namanya koran Jyllands-Posten belumlah terbit. Artinya, kerasukan Bismarck pastilah bukan karena wajahnya yang dingin itu dimuat di dalam kartun oleh koran Denmark. Lagi pula, Bismarck tentunya sudah cukup puas melihat patung dirinya yang sedang berkuda didirikan orang di taman kota, sebagaimana dapat kita lihat jika sekarang kita sedang jalan-jalan di Kota Koln. Jadi, mengapa harus Denmark?

Kita boleh berdebat panjang tentangnya. Kita boleh pula berunjuk rasa sembari melempari patung Bismarck. Namun, satu hal yang pasti, kerasukan itu rupanya dilandasi oleh semangat uji coba yang dilakukan Bismarck atas pendapat Hegel yang mengatakan bahwa sejarah itu dibimbing oleh Roh demi kebebasan manusia. Roh yang mondar-mandir dari Timur ke Barat itu juga bukan “sesuatu” yang abstrak dan umum, melainkan sesuatu yang konkret yang menandai bangsa-bangsa (volksgeist). Roh suatu bangsa tertentu, menurut Hegel, menentukan panggilan dan nasib historisnya. Secara bergilir Roh tersebut akan merasuki suatu bangsa tertentu dan memberinya suatu panggilan serta tugas untuk melaksanakan sesuatu yang besar demi pimpinan dan hegemoni dalam dunia.

Selama suatu bangsa yang terpilih itu tetap setia pada hakikat dan panggilannya secara vital serta kreatif, maka ia akan sanggup merebut serta mempertahankan hegemoninya. Begitulah, melalui pendapat Hegel, Bismarck pun mengujicobakan pada Denmark. Atau, jika dibalik, melalui pendapat Hegel, Denmark ketika itu membuktikan dirinya sebagai bangsa yang tidak memiliki kesetiaan pada hakikat dan panggilannya secara vital serta kreatif, sehingga mudah dihegemoni oleh Bismarck.

Kehilangan Roh

HEGEL sendiri memang tidak mau menjelaskan mengapa Roh itu hanya mondar-mandir dari Timur ke Barat. Mengapa tidak diakuinya, misalnya, karena Roh itu merupakan Ide yang telah melewati Alam, maka ia bebas “bergentayangan” ke mana pun. Implikasinya, apakah Denmark berarti “barat”, sehingga Bismarck (yang merasa mewakili Roh “timur”) lalu bebas melibasnya. Hegel hanya menjelaskan bahwa peranan individu tidaklah penting di mata Roh tersebut.

Artinya, jika Hegel berbicara mengenai manusia, yang dimaksudkannya tentu manusia sebagai bangsa (volksgeist). Lalu, bagaimana kita memahami ulah Bismarck? Apakah ia seorang Bismarck ataukah volksgeist yang “kebetulan” menjelma ke dalam diri Bismarck? Andai Bismarck seorang “penjelmaan”, mengapa pula ia secara sengaja melibas Denmark yang notabene adalah tetangga di kamar sebelah. Sayang sekali, saya tidak berkesempatan melakukan wawancara langsung dengan Bismarck. Sebab, siapa tahu justru kita akan memperoleh jawaban yang mengejutkan, misalnya “Wah, lepas dari masalah ajaran Hegel, saya memang harus menyerbu Denmark, karena Denmark agak kurang ajar kepada saya!”

Tapi, daripada bertanya terus-menerus, sebaiknya kita mulai menyadari bahwa sebenarnya dewasa ini kita sedang berpeluang kehilangan volksgeist, ya, mirip nasib Denmark di mata Bismarck. Sebagaimana dikatakan Hegel, volksgeist menentukan panggilan dan nasib historis suatu bangsa. Selama suatu bangsa tetap setia pada hakikat dan panggilan Rohnya secara vital serta kreatif, maka bangsa itu akan sanggup menegakkan martabatnya di antara bangsa-bangsa lain. Namun, cobalah bayangkan, bangsa apakah namanya yang pegawai kantor pajaknya gemar menilep uang rakyat, anggota DPR-nya senang menuntut kenaikan gaji, calon kepala daerahnya hobi berkelahi, partainya gemar membuat koalisi yang tidak jelas juntrungannya, artisnya suka kawin-cerai atau nyabu, dosennya senang digaji kecil, dan rakyatnya amat “pendiam” dan suka sekali hidup menderita dan melarat. Apakah bangsa semacam ini masih boleh disebut sebagai bangsa yang memiliki volksgeist?

Kita boleh yakin, Hegel pun pasti sulit menjawab hal ini.

Menunggu giliran

SEKARANG kita boleh menebak mengapa Bismarck memilih Denmark sebagai “santapan pembuka”. Ya, agaknya Bismarck khawatir Denmark akan mendapat giliran sebagai bangsa yang memiliki volksgeist. Secara bergilir, demikian kata Hegel, Roh memang akan merasuki suatu bangsa tertentu dan memberinya suatu panggilan serta tugas untuk melaksanakan sesuatu yang besar demi keutamaannya di dunia.

Dalam kacamata kekinian, kekhawatiran Bismarck itu mungkin dapat kita rasakan secara lain. Pasalnya, dan ini yang tidak disadari Bismarck, ternyata ada bangsa yang seolah-olah enggan terhadap kehadiran Roh. Alih-alih menunggu giliran munculnya volksgeist, bangsa semacam itu justru memilih mengejar koruptor sebagai geist-nya sehari-hari. Bangsa semacam ini lupa bahwa membersihkan sarang kecoak tidak bisa dilakukan dengan membakar seluruh rumah, apalagi jenis korupsinya pun bukan lagi semata-mata menilep uang rakyat. Alhasil, muncullah sosok-sosok Bismarck yang bermimpi mewujudkan volksgeist dengan cara melupakan kepentingan dan penderitaan rakyatnya sendiri, padahal rakyatnya sendiri adalah geist itu sendiri.

Jadi, apakah bangsa semacam itu lebih baik memilih “tetap” menjadi Denmark di mata Bismarck, ataukah berupaya keras membelokkan perjalanan Roh (yang hanya dari Timur ke Barat) menuju Tenggara, misalnya, ya, tanyakanlah pada rumput yang bergoyang.

Atau, mungkin, itulah yang disebut Hegel sebagai dialektika.

[Renungan dari tur jurnalistik ke Koln, Jerman Barat, 2008]

Tidak ada komentar: