| More

Menuju Jurnalisme Beretika

Pemikiran mengenai jurnalisme memang harus selalu di-update, karena (selalu) terkesan taken for granted atas sikap dan tindakan jurnalisnya. Namun, pada Abad Bahasa dewasa ini, yang menuntut jurnalisme beretika, kaum jurnalis mendapatkan tantangan untuk membuktikan kinerjanya sebagai watch-dog dengan pertanyaan sederhana:
"Apakah cara mereka mengawasi sudah benar?"

Senin, 04 April 2011

KANAL ETIS BERNAMA LOCAL GENIUS KEBETAWIAN

Catatan Ringan “Berkat” Buku Ridwan Saidi Potret Budaya Manusia Betawi (2011)

Oleh Dr. Wahyu Wibowo

Coba simak berita koran-koran di Jakarta perihal unjuk rasa sebagai dampak penggusuran. Lalu, resapilah, ternyata unjuk rasa itu seolah hanya difokuskan pada masalah keadilan sosial yang berkelindan dengan perseteruan antara rakyat dan penguasa gara-gara kemiskinan.


ITULAH faktanya, tapi jangan lupa fakta di sini adalah fakta yang telah dikonstruksi oleh wartawan. Artinya, kalau kita sedang membaca koran yakinlah bahwa ada fakta di lapangan (realitas) dan ada fakta buatan wartawan (konstruksi realitas). Implikasinya, “fakta” unjuk rasa yang kite baca itu bisa mencuatkan pertanyaan: apakah si wartawan benar-benar paham perihal keadilan sosial itu sendiri.
Tapi, sebelon dilanjutkan, mesti digarisbawahi bahwa tulisan ini mencoba mencari hubungan reflektif antara pemberitaan unjuk rasa, topik diskusi bedah buku Ridwan Saidi Potret Budaya Manusia Betawi (PRI, 2011), dan pentingnya memahami eksistensi local genius kebetawian sebagai kanal etis dalam kita berbangsa dan bernegara.
SUDAH lama orang cerdik pandai menengarai bahwa keadilan sosial ibarat pisau bermata dua yang secara nyata justru makin memperlebar senjang antara rakyat dan penguasa. Trasymachus, misalnya, jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa keadilan adalah yang menguntungkan bagi si penguasa. Pandangannya ini dipangkalkan dari definisi adil sebagai sesuatu yang sesuai dengan hukum atau kebijakan si penguasa.
Dengan demikian, dalam konteks ini praksis keadilan sosial yang pada umumnya diukur melalui tinggi-rendahnya skala kemiskinan struktural membuat penguasa sering kali dituding sebagai dalangnya, karena pada dasarnya penguasa adalah pengendali. Padahal, tidak sedikit penguasa yang secara individual ingin berbuat adil, namun terhalang oleh faktor-faktor eksternal kekuasaannya, seperti naiknya harga BBM dunia, tingginya campur tangan kapitalisme mondial, dan bahkan tingginya tekanan partainya untuk tetap mempertahankan kekuasaan pada Pemilu berikutnya. Dampaknya, maraklah unjuk rasa yang biasanya tidak lekang oleh keterlibatan pihak ketiga. Kita boleh saja tidak percaya bahwa ada penguasa yang begitu legowo hendak bertindak adil. Tapi, percayalah, yang namanya keadilan individual pasti ada di dalam diri manusia. Masalahnya, bagaimana manusia yang “ditakdirkan” menjadi penguasa dapat melakukan keadilan individualnya, sehingga tidak melahirkan ketidakadilan sosial.
Pada era Reformasi ini, hubungan rakyat-penguasa memang tidak mungkin dilihat hanya dari perspektif klasik klien-patron. Juga, tidak mungkin memahami hubungan ini sekadar melalui slogan “hidup adalah perbuatan”, sebagaimana dipampangkan oleh baliho di pinggir jalan. Coba deh, kite inget-inget lagi peristiwa penggusuran makam Mbah Priuk di Koja tempo hari. Lantas, kita renungkan, bukankah Kesepakatan Koja, pada hakikatnya cerminan dari kesadaran “yang diciptakan” dan bukan kesadaran “yang tercipta”.
Dari sudut forensik bahasa, adanya ungkapan “makam Mbah Priuk akan digusur” (dibaca: Pemerintah) dan terdengarnya ungkapan “makam Mbah Priuk adalah makam keramat” (dibaca: masyarakat Koja), merupakan dua tata permainan bahasa yang mengandung suatu nilai kehidupan yang diyakini oleh masing-masing pihak. Ketika kedua tata permainan bahasa ini bercampur, maka pecahlah bentrokan masal antara pihak Satpol PP dan masyarakat Koja.
Dari hal di atas, benarlah Wittgenstein (1983) ketika menegaskan bahwa di dalam kehidupan ini banyak sekali tata permainan bahasa, dengan aturannya sendiri-sendiri, yang mencerminkan suatu nilai kehidupan masyarakat penggunanya. Dengan demikian, Peristiwa Koja bukanlah semata-mata peristiwa politik, ekonomi, atau hukum, melainkan lebih sebagai ketidakpahaman Pemprov DKI Jakarta terhadap suatu tata permainan bahasa yang hidup di kalangan masyarakatnya, wabil khusus masyarakat Koja.
Ketidakpahaman itu, terpantul dari sikap Pemprov DKI Jakarta yang berkesan abai terhadap eksistensi historis Mbah Priuk. Tebalnya kepercayaan masyarakat, yang dalam perspektif forensik bahasa dapat dipertalikan dengan nilai-nilai religiusitas, agaknya mudah kita pahami misalnya melalui fakta bahwa Mbah Priuk adalah penyiar Islam pertama di Betawi dan sudah dimakamkan di sana sejak 1756. Oleh karena itu, amat mengherankan jika ada yang menganggap makam itu hanya sebagai sebidang tanah (yang oleh karena itu boleh digusur). Fakta pembanding dapat dikemukakan, misalnya mengapa eksistensi gua Massabielle, di Lourdes, Prancis, hingga kini masih dipertahankan.
Dari sudut forensik bahasa, ketidakpahaman ini dapat disebut sebagai kesadaran “yang diciptakan” dan bukan “yang tercipta”. Kesadaran yang diciptakan, jika diselaraskan dengan pendapat Drengsong (1992), merupakan dampak dari technophilia, yakni kecintaan membabi-buta terhadap teknologi akibat pembangunan yang kapitalistik. Dampak dari hal ini, nalar manusia tak bisa lagi menjadi objektif, karena objektivitas dimaknai hanya sebagai apa pun “yang konkret” sejauh ia terikat dengan kepentingan. Andai hendak dirunut, nalar yang tak bisa lagi menjadi objektif sebenarnya sudah merajalela sejak kemunculan semangat Renaissance di Eropa (abad ke-16 dan ke-17), yakni ketika terjadi penolakan terhadap dominasi gereja yang dikatakan selalu memfokus pada sesuatu yang abstrak. Di dalam penelitian akademik, misalnya, pendukung Renaissance juga berprinsip bahwa segala hal harus dapat dikonkretkan.
Teknologi, yang pada hakikatnya dirancang sebagai alat yang ampuh untuk mengatasi masalah tertentu dalam kehidupan manusia, tiba-tiba menjadi alat eksploitasi manusia. Teknologi berubah wajah menjadi alat pencarian kekuasaan, keuntungan materi, dan belakangan bahkan selalu diidentikkan dengan mondialisasi. Dampaknya, ungkapan “gusur” dan “bisnis”, atau gabungan keduanya, menjadi warna dasar di dalam kehidupan kita sehari-hari dewasa ini. Hal ini, kiranya selaras dengan ucapan Habermas (1981) bahwa teknik-teknik keuangan dan kekuasaan telah berhasil mengambil alih life-world atas hubungan kemanusiaan secara mondial. Artinya, uang adalah sebuah teknik yang efisien dalam pencapaian tujuan akhir tertentu. Dalam konteks ini, ungkapan “penggusuran makam Mbah Priuk”, yang lantas memicu bentrokan, menemukan relevansinya. Teknologi benar-benar menjadi dewa di dunia modern.
Oleh karena itu, untuk memicu “kesadaran yang tercipta”, mau nggak mau, ya kita harus memahami bahwa di dalam kehidupan ini banyak sekali tata permainan bahasa.

BAGAIMANA memicu “kesadaran yang tercipta”? Dalam melihat hubungan antara rakyat dan penguasa, misalnya, pemicunya hemat saya mesti dicari melewati sebuah kanal yang saya sebut sebagai kanal etis.
Kanal yang secara aksiologis bersifat solutif ini setidaknya dapat diberangkatkan melalui buku Ridwan Saidi, Potret Budaya Manusia Betawi. Menurut Saidi (h.95), orang Betawi tidak mengenal konsep tentang power (kekuasaan), selain konsep tentang regeering (pengaturan), mengingat orang Betawi berada di bawah taklukkan penjajah dari India Utara yang mendirikan Kerajaan Taruma Negara. Kerajaan yang menurut Saidi menggunakan sistem kekuasaan Mongol itu, menganggap Betawi sebagai pangkalan asing dan sekaligus sebagai “sumber” upeti.
Akibat trauma pada keburukan sistem kekuasaan Taruma Nagara, orang Betawi menganggap politik dan kekuasaan sebagai momok, yakni tumpukan daging yang ditumbuhi bulu yang posisinya persis di atas kelamin perempuan. Artinya, Hindu diidentikkan dengan sesuatu yang buruk. Orang Betawi menyebut angin jahat yang berbahaya bagi manusia juga dalam istilah angin brahme (dari Brahma). Begitu pula, jika orang Hindu menyebut paria sebagai kasta terendah, orang Betawi sebaliknya menyebut para-para, yaitu tempat menaruh sesuatu yang berada di loteng (baca: di atas).
Ketika Kerajaan Pajajaran muncul (abad ke-8 M), orang Betawi dapat menerimanya dengan tangan terbuka. Pasalnya, Pajajaran tidak menindas. Nusa Kalapa dijadikan Mandala Pajajaran dan orang Betawi disebut hulun (rakyat) Pajajaran. Sebagai hulun, Pajajaran pun menganggap orang Betawi sebagai mitra di laut. Itu sebabnya, pada abad ke-12 Pelabuhan Kalapa (kini: Sunda Kelapa) dibangun dan menjadi pelabuhan penting. Menurut Saidi (h.98), ketidakterlibatan orang Betawi pada pembangunan sistem kekuasaan itulah yang menumbuhkan sifat egaliter. Bagi orang Betawi, organisasi kekuasaan tidak pernah disakralkan, karena yang sakral adalah organisasi keluarga. Mempelai Betawi, misalnya, ditempatkan pada puade yang tinggi (“diangankan” menyentuh awan).
Melalui egaliterisme Betawi, kanal etis sebagaimana saya maksudkan kiranya akan memicu “kesadaran yang tercipta”, khususnya di dalam diri penguasa zaman sekarang ketika “menghadapi” masyarakat Betawi. Dalam ungkapan lain, kita dapat belajar dari local genius (kearifan lokal) kebetawian, dan justru bukan dari nilai-nilai Barat, ketika kita harus memutuskan masalah-masalah berbangsa dan bernegara. Apalagi, sebagaimana diingatkan oleh Trasymachus, tiap-tiap penguasa cenderung membuat undang-undang dan peraturan demi mempertahankan kekuasaan dan keuntungannya belaka. Mengingat local genius kebetawian adalah ciri-ciri lokal atau identitas lokal yang berabad-abad telah dianggap sebagai nilai-nilai luhur orang-orang Betawi, saya juga harus menegaskan bahwa ciri-ciri lokal tersebut mesti ditanamkan kepada anak-anak (di) Jakarta sejak mereka duduk di sekolah dasar.
Mungkin kita masih terkendala oleh semacam etnosentrisme mengenai betawi sebagai etnik dan betawi sebagai entitas nasional. Atau, jika disederhanakan, siapakah orang Betawi? Namun, dalam perspektif kultural, kita mesti mengakui adanya etnik Betawi yang dalam kehidupan sehari-harinya memiliki norma (patokan) moral tersendiri, memiliki sistem sosial tersendiri, dan memiliki tindakan (etika) tersendiri. Norma, sistem sosial, dan etika orang-orang Betawi inilah yang kita kenal sebagai kebudayaan Betawi. Kebudayaan Betawi, atau local genius kebetawian, seperti telah dikatakan amat berfungsi sebagai kanal etis kita dalam mengatasi masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan.
Coba simak ungkapan ini, “orang Jakarta kurang disiplin” atau “orang Jakarta males-males”. Apakah makna kedua ungkapan ini dari sudut local genius kebetawian?

KANAL etis itulah yang sedang ditawarkan Ridwan Saidi melalui bukunya. Judulnya, Potret Budaya Manusia Betawi, menyiratkan keterlibatan penulisnya secara intens. Bahkan, hemat saya, buku tersebut mirip dengan etnografi. Sebuah karya etnografi, kite pasti tau, merupakan deskripsi sistematis dari kebudayaan berdasarkan tangan pertama.
Walau mungkin bukan tangan pertama, buku Potret Budaya Manusia Betawi mengandung sisi-sisi etnografi. Pasalnya, posisi Ridwan Saidi sebagai “pemotret” justru bersifat ontologis: ia orang Betawi tulen. Ia lahir, besar, kawin, bekerja, dan tua di Betawi.
Ridwan Saidi adalah Betawi, Betawi adalah Ridwan Saidi.

Pasar Minggu, 7 Fabruari 2011

Tidak ada komentar: